Menurut situs pengumpul ulasan Rotten Tomatoes, 99% dari 97 ulasan kritikus positif tentang film dokumenter Navalny dengan rata-rata penilaian 8,4/10.
Sedangkan di Metacritic, film ini mendapatkan skor 82 dari 100, menunjukkan bahwa film ini mendapat "pujian universal" dari para kritikus.
Beberapa kritikus seperti Phil Harrison dari The Guardian memberikan rating 5/5 bintang dan menyebut film ini "sangat menakjubkan dan mengerikan", sedangkan kritikus film dari The New York Times, Ben Kenigsberg menambahkan film ini ke dalam "Critic's List" dan memuji karya sutradara Daniel Roher yang berhasil menghadirkan film yang tegang dan menarik tentang Navalny dan lingkungannya.
Melalui film dokumenter Navalny, Daniel Roher berhasil menghadirkan kisah yang menarik tentang seorang pejuang demokrasi yang berani melawan rezim otoriter.
Dalam sebuah wawancara, Roher menyatakan pentingnya dialog dalam sebuah demokrasi. Film Navalny menekankan pentingnya berbicara dengan orang yang memiliki pandangan berbeda dan tidak sependapat.
Ia menambahkan bahwa keberadaan di dalam echo chambers atau situasi di mana kita hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan dunia yang sama dengan kita, dan hanya terpapar dengan pandangan yang sama, hanya akan merugikan demokrasi.
Selain itu, dari pengalaman saat pembuatan film dokumenter ini Roher juga belajar untuk mempercayai kolaborator dan ide yang muncul dalam proses, daripada mengandalkan ide yang sudah ada.
Bagi orang Indonesia, film ini bisa memberikan pelajaran berharga bahwa perjuangan melawan kekuasaan yang tidak demokratis tidaklah mudah dan kadangkala membahayakan nyawa.
Meskipun tidak semua orang sepakat dengan pandangan politik Alexei Navalny, namun film ini berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang terjadi di Rusia dan bagaimana keterlibatan Putin dalam insiden keracunan yang dialami oleh Navalny.
Film ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang ingin memperluas wawasan tentang demokrasi, kebebasan berekspresi, serta bagaimana media dan teknologi dapat digunakan sebagai alat untuk memerangi kekuasaan yang otoriter. (*)
Referensi: