Prostitusi di kalangan pelajar, secara realitas telah menjadi rahasia umum yang makin mengkhawatirkan. Pemakluman, pembiaran, bahkan "sikap" memfasilitasi, sudah menjadi hal lumrah yang nyaris membunuh rasionalitas kita. Entah dari sikap acuh orangtua, keluarga, bahkan lingkungan pendidikan yang harusnya dapat menjadi "benteng" moral.
Bahkan, pada bulan lalu terkonfirmasi prostitusi pelajar hingga melibatkan anak usia SD (KPA Grobogan). Bahkan di Gondanglegi, Kab. Malang, ruang prostitusi tidak lagi melalui media online, melainkan dari usaha warung kopi. Alhasil, 7 anak dibawah umur diamankan petugas, dimana rata-rata masih berstatus sebagai pelajar (1/25).
Dua hal tersebut kiranya menjadi contoh yang aktual. Seperti halnya kasus di Gang Royal, Rawa Bebek, Jakarta. Prostitusi kini tak lagi menjadi hal tabu. Bahkan terfasilitasi melalui berbagai aplikasi online maupun offline, ditengah lingkungan masyarakat.
Fenomena Sosial atau Problem Pendidikan?
Keterlibatan kalangan pelajar dalam dunia prostitusi, tentu menjadi hal yang memprihatinkan. Ruang sosial yang seharusnya menjadi sarana komunikatif antar warga, kerap terjebak dalam aturan hukum dan persoalan "centeng". Dimana memilih untuk tidak terlibat, justru dianggap normal untuk menghindari masalah.
Demikian kiranya kurikulum pendidikan yang tidak lagi memberi edukasi perihal norma dan etika dalam pembelajaran. Sudah tentu hal ini menjadi latar belakang persoalan "krama" bagi para pelajar. Aspek perilaku kerap berbenturan dengan disiplin yang seharusnya menjadi identitas seorang pelajar. Disiplin, saat ini justru dianggap sebagai aturan yang mengekang kebebasan pembelajaran.
Benturan pemahaman ini tak lain karena faktor digitalisasi pendidikan, termasuk kurikulum yang kurang edukatif. Ramai kiranya konten kreator yang justru berangkat dari ruang pendidikan, pun memberi dampak bagi beragam. Perihal perspektif tentang dunia pendidikan saat ini. Fenomena digitalisasi pendidikan pun sebaiknya ditelaah ulang sebagai upaya pembatasan dan kontrol media.
Keluarga Sebagai Solusinya
Jika lingkungan adalah penyebab utama persoalan moralitas, maka keluarga adalah kunci solutifnya. Peduli terhadap pergaulan anak, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua, dan keluarga. Bukan semata-mata memberi kebebasan bagi anak-anak dalam pergaulan tanpa adanya kontrol. Namun, harus menjadi "benteng" dalam menjaga etika dan norma diluar lingkungan keluarga.
Keluarga seharusnya dapat menjadi rumah yang nyaman bagi anak-anak, dari maraknya pergaulan bebas. Memberi batasan mengenai waktu keluar rumah, tentu menjadi hal penting kini. Terlebih dalam mengetahui dimana dan dengan siapa anak-anak bergaul saat diluar lingkungan keluarga. Termasuk ketika usai beraktivitas dari lingkungan lembaga pendidikan.
Artinya, kontribusi yang menjadi kontrol paling besar tak lain adalah lingkungan keluarga. Selebihnya adalah ruang bagi lembaga pendidikan dalam memberi pemahaman perihal realitas pergaulan bebas. Dalam area ini, peran keluarga kemudian berubah sebagai tim monitoring. Dengan posisi saling mendukung dengan prinsip-prinsip yang edukatif.
Lembaga Pendidikan Sebagai Edukator Moral
Ruang edukator moral ini jika meminjam paradigma Immanuel Kant terletak pada kritik akal budi. Dimana yang baik dikatakan baik, dan yang buruk dikatakan buruk. Dalam pengertian kesadaran diri bagi setiap manusia. Bukan semata-mata karena sifat subjektif dengan menihilkan objektivitas yang realistis.
Sama halnya dalam ruang pendidikan, yang tak lepas dari paradigma moralitas manusia. Ruang pendidikan merupakan salah satu instrumen penting dalam mengasah akal budi sebagai manusia yang dapat dikatakan baik. Jika hal ini terdistorsi dengan adanya orientasi pragmatis, tentu moralitas yang terbangun akan runtuh dengan sendirinya.
Jika ruang edukator moral telah beralih orientasi, wajar jika perilaku penyimpangan sosial akan menjadi hal yang wajar. Khususnya pembenaran dalam kontrol moral yang bersifat subjektif. Inilah yang menjadi problematika lembaga pendidikan ditengah arus digitalisasi saat ini.
Kurikulum Pendidikan Penguatan Moral dan Etika
Dalam wacana ini kiranya penguatan moral dan etika sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Baik melalui pendekatan kurikulum yang humanis, maupun peran serta keluarga melalui berbagai kegiatan kolaboratif. Dimana dalam pelaksanaannya ada aturan yang tegas dan mengikat antar berbagai pihak. Baik dari lingkungan keluarga ataupun lembaga pendidikan dan masyarakat.
Sehingga, upaya penyelarasan kurikulum yang berorientasi pada urgensi moral dan etika dapat berjalan dengan baik. Termasuk dalam metode pembelajaran yang fokus pada masa depan generasi bangsa. Khususnya dalam melihat berbagai fenomena global dalam tujuan menjaga identitas budaya bangsa agar tidak terdistorsi secara radikal.
Fenomena prostitusi di kalangan pelajar, adalah satu diantara problematika yang dihadapi generasi muda saat ini. Belum lagi realitas perihal LGBT yang juga menjadi topik penting dalam kontrasnya modernisasi.
Semoga bermanfaat, terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI