Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Jalan Terjal Pasar Tradisional Hadapi Era Digital

26 Juli 2024   05:00 Diperbarui: 27 Juli 2024   17:14 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lapak sayur di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur | Sumber: Dokumentasi pribadi

"Apapun kebutuhanmu, kini semua bisa kamu dapatkan melalui pasar digital!", sebuah pameo yang satir untuk didengar. Walau tampak berangkat dari realitas perilaku ekonomi saat ini. Di mana perilakunya bukan sebatas jual beli urusan sandang dan papan semata.

Khususnya soal kebutuhan pangan, dengan konsep efisiensi melalui berbagai platform pasar digital. Hal ini tentu bukanlah tanpa alasan, melainkan faktor kebutuhan utama di era industri 4.0. Walaupun realitas ini menimbulkan konsekuensi besar.

Seperti, makin sedikitnya lapak penjual kebutuhan pangan di berbagai pasar tradisional. Alih fungsi digitalisasi kerap disebut sebagai biang keladinya. Sebuah transformasi ekonomi yang kiranya membuat efek domino dalam locus sosial masyarakat.

Tak terkecuali perihal perubahan budaya dalam orientasi konsumerisme. Seperti yang diungkapkan oleh Tjiptono Chandra (2021), yakni terciptanya paradigma baru dalam melakukan bisnis tranformasional. Inilah poin utama konsep e-commerce tahap selanjutnya.

Transformasi Pasar Tradisional Menuju Digital

Di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, sebagai salah satu sentra jual beli kebutuhan pokok pun kini terlihat mulai beradaptasi. Beberapa pedagang kebutuhan pangan juga telah memainkan metode digital marketing sambil berjualan secara langsung.

Keterbukaan dalam hadapi era digital bagi para pedagang menjadi sebuah keniscayaan. Seiring perkembangan zaman, dan tentunya dalam aspek persaingan ekonomi. Kita tentu paham, bagaimana banyak pelaku usaha di mal yang kini memilih untuk alih strategi.

Walaupun banyak pula yang tetap mempertahankan tradisionalitas sebagai modal ekonomi yang sarat nilai. Dalam konsepsi ini, kita dapat analisa bagaimana modal usaha memainkan peran penting dalam perilaku ekonomi kontemporer.

Bukan sekedar mempertahankan prinsip, tanpa keterbukaan demi mendorong ketercapaian ekonomi. H. Paquette (2013), pernah menjelaskan, bahwa situs jaringan sosial saat ini telah menjadi jalan bagi para pengecer untuk memperluas pemasaran.

Maka, mau tidak mau para penjual wajib mengikuti budaya baru tersebut sebagai upaya mempertahankan dagangannya. 

"Kita biasa live ketika dagang mas, kadang ada saja yang pesan untuk dikirimkan," ungkap Mas Tri kepada penulis.

Mas Tri, sendiri adalah seorang pedagang sayur mayur yang menjajakan dagangannya di dalam area Pasar Kramat Jati. Walau kadang ia merasa "keteteran" ketika ada pembeli datang secara langsung. Apalagi jika kondisi sedang ramai, nyaris tidak ada komunikasi.

Menghilangnya Budaya Tradisionalitas

Apa yang dirasakan Mas Tri tentu saja berdampak pada para konsumennya. Di mana para konsumen yang biasa berkomunikasi dengan pedagang, kini justru terasa terabaikan. Dampaknya tentu saja kepada mood yang seakan mengalami shock culture.

Ada semacam kebiasaan yang hilang antar para pedagang dengan konsumennya. Waktu senggang yang biasanya dipakai untuk bersosialisasi, kini perlahan mulai tersita akibat kegiatan pemasaran berbasis media digital.

Komunikasi digital inilah yang akhirnya menihilkan nilai-nilai sosial. Nilai sosial yang kerap kita temui ketika berbelanja secara langsung di pasar tradisional. Budaya komunikasi antar personal kini mulai hilang seiring sikap perkembangan zaman.

Kepentingan ketercapaian ekonomi justru menjadi prioritas, tanpa ada kesadaran interaktif perihal realitas sosial yang tampak. Semisal keluhan menyoal harga pangan yang tinggi, ataupun mode tawar menawar dengan berbagai strateginya.

Alhasil, identitas budaya pasar tradisional mulai menghilang. Seiring transformasi para pelaku ekonomi yang terlibat di dalamnya. Tanpa mendapatkan ruang sosial yang seharusnya terbuka dalam pendekatan tradisionalisme.

Namun, beda di kota pun beda di desa. Dalam orientasi digitalisasi yang berjalan lambat sesuai dengan tradisi eksklusifitasnya. Norma dan nilai masih menjadi ujung tombak kelestarian budaya di pasar tradisional. Walau suatu waktu nanti akan tetap mengikuti perkembangan zaman yang ada.

Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun