"Apapun kebutuhanmu, kini semua bisa kamu dapatkan melalui pasar digital!", sebuah pameo yang satir untuk didengar. Walau tampak berangkat dari realitas perilaku ekonomi saat ini. Di mana perilakunya bukan sebatas jual beli urusan sandang dan papan semata.
Khususnya soal kebutuhan pangan, dengan konsep efisiensi melalui berbagai platform pasar digital. Hal ini tentu bukanlah tanpa alasan, melainkan faktor kebutuhan utama di era industri 4.0. Walaupun realitas ini menimbulkan konsekuensi besar.
Seperti, makin sedikitnya lapak penjual kebutuhan pangan di berbagai pasar tradisional. Alih fungsi digitalisasi kerap disebut sebagai biang keladinya. Sebuah transformasi ekonomi yang kiranya membuat efek domino dalam locus sosial masyarakat.
Tak terkecuali perihal perubahan budaya dalam orientasi konsumerisme. Seperti yang diungkapkan oleh Tjiptono Chandra (2021), yakni terciptanya paradigma baru dalam melakukan bisnis tranformasional. Inilah poin utama konsep e-commerce tahap selanjutnya.
Transformasi Pasar Tradisional Menuju Digital
Di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, sebagai salah satu sentra jual beli kebutuhan pokok pun kini terlihat mulai beradaptasi. Beberapa pedagang kebutuhan pangan juga telah memainkan metode digital marketing sambil berjualan secara langsung.
Keterbukaan dalam hadapi era digital bagi para pedagang menjadi sebuah keniscayaan. Seiring perkembangan zaman, dan tentunya dalam aspek persaingan ekonomi. Kita tentu paham, bagaimana banyak pelaku usaha di mal yang kini memilih untuk alih strategi.
Walaupun banyak pula yang tetap mempertahankan tradisionalitas sebagai modal ekonomi yang sarat nilai. Dalam konsepsi ini, kita dapat analisa bagaimana modal usaha memainkan peran penting dalam perilaku ekonomi kontemporer.
Bukan sekedar mempertahankan prinsip, tanpa keterbukaan demi mendorong ketercapaian ekonomi. H. Paquette (2013), pernah menjelaskan, bahwa situs jaringan sosial saat ini telah menjadi jalan bagi para pengecer untuk memperluas pemasaran.
Maka, mau tidak mau para penjual wajib mengikuti budaya baru tersebut sebagai upaya mempertahankan dagangannya.Â