Siapa sangka, kedai/warung kopi alias warkop kini telah menjelma menjadi arena berkumpulnya para Gen Z. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, warkop biasanya didominasi oleh kalangan dewasa hingga orang tua. Peralihan kekuasaan yang tampak jelas ini memang mempengaruhi berbagai menu yang tersaji.
Dominasi gorengan yang biasanya tersaji sebagai menu utama, mulai menghilang kini. Sedangkan menu roti bakar hingga makanan siap saji, justru tampak menghiasi tiap sudut area warkop. Peralihan menu ini memang menjadi perhatian penting bagi golongan tua, lantaran dianggap tidak sesuai tradisi, dan justru kerap memantik pertikaian jiwa.
"Gorengannya sudah ga ada tha mas?," sebagai kalimat akhir dari para orang tua pencari inspirasi dari segelas kopi. Esoknya, sudah dapat dipastikan, mereka tidak akan datang kembali.
Sedangkan, hadirnya Gen Z, justru memberi angin segar bagi perubahan menu makanan. Termasuk dengan harga yang dibanderol, juga turut menyesuaikan zaman.
Fenomena transisi budaya ngopi inilah yang kini telah bertransformasi menjadi arena "mabar" anak-anak muda. Identifikasi warkop yang dahulu dianggap sebagai ruang bebas para pencari inspirasi, kini tak lagi tampak dalam kesakralannya. Namun, tentu saja beda di kota beda pula di desa. Menu-menu andalan (gorengan) kiranya masih menjadi sajian utamanya.
Dalam kisah ini, kita tarik realitas yang tampak di kota saja. Menjamurnya warkop sebagai UMKM yang survive dari serangan pandemi, sudah menjadi kunci utama keberhasilan usaha ini. Tak lain karena munculnya kegelisahan sosial dengan mode "kongkow" yang langka terjadi kala itu.
Seakan mendapatkan wind of change ketika ruang ketemuan kemudian terfasilitasi melalui warkop ketika pandemi telah berakhir. Nah, disinilah peristiwa peralihan kekuasaan terjadi. Kebangkitannya ditandai dengan menjamurnya warkop dengan ragam varian, seperti mode cafe, angkringan, ataupun kedai kopi.
Semua terbalut dalam nuansa yang terbuka dan akrab serta bukan lagi sekedar untuk menyendiri dalam kesunyian. Mendapatkan teman baru, atau bahkan kekasih dadakan, kiranya sudah kerap terjadi. Inilah wujud warkop kekinian, dengan mode liberalismenya, namun konon menyimpan kegelisahan yang mendalam.
Kegelisahan Gen Z dalam hadapi realita di masa depan, dengan menungkan segala kerisauannya di warkop. Entah melalui metode basa-basi, atau sekedar curhat perihal masalah pribadi, justru makin terdengar jelas. Apalagi jika berkaitan dengan masalah sekolahnya, hal seremeh apapun dapat jadi sajian dialog lintas semesta yang tak kunjung usai.
Namun faktanya, keresahan memang tidak dapat ditutupi dengan topeng apapun. Menyoal "tar lulus sekolah, lu mau kemana...," sudah jadi topik hangat dalam keremangan malam. Suasana yang sebelumnya riang, seketika dapat berubah sesuai musim yang berganti. Biasanya, kalau sudah topik utama tersaji, mereka tak akan lama pergi.
Esoknya, perilaku serupa biasanya kembali terjadi. Dengan disertai berbagai bumbu-bumbu baru yang disajikan sebagai materi dialog lintas semesta. Walau tetap dengan kegelisahan yang sama pada akhirnya. Solidaritas sosial yang terbangun bukan lagi menyoal nasib masa depannya, karena termanifestasikan hanya dalam kebahagiaan sesaat.
Tantangan zaman memang kembali kepada para petualangannya. Semakin ia mampu berjuang, maka semakin kuat mentalitasnya ketika menghadapi beragam persoalan kehidupan. Sama halnya seperti warkop, yang sanggup bertarung dengan pandemi, dan dapat bangkit dengan varian barunya.
Filosofi terbalik inilah yang seharusnya dapat dijadikan kisah inspiratif bagi Gen Z. Bukan justru dari kisah-kisah para konsumennya, melainkan dari fakta betapa warkop telah bangkit dan dapat merajalela kini. Maka wajar, jika banyak pakar kini meragukan mode survival Gen Z dalam hadapi masa depannya.
Termasuk budaya warkop sebagai arena pemantik kesadaran imajinatif yang membangun bagi para penikmatnya. Seperti mode lama, walau dengan menu baru yang berbeda. Khususnya bagi Gen Z, yang seharusnya mampu berpikir kritis dalam menilai realitas zaman.
Dimana realitas ini bersumber dari pengamatan subjektif dari penulis. Semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H