Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

All Eyes on Papua? Mengapa Baru Sekarang?

4 Juni 2024   00:00 Diperbarui: 4 Juni 2024   00:50 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi All Eyes on Papua (sumber: x via kompas.com)

Papua dengan beragam pesonanya, ternyata tak luput dari orientasi eksploitasi alamnya. Bukan sekedar dijadikan ikon pariwisata, pun dengan kekayaan alam beserta adat dan budayanya. Dalam konteks kapitalisasi Tanah Papua yang tak kunjung berakhir.

Sejak Freeport berhasil menguasai Tembagapura sebagai pendulang pundi-pundi emas bangsa asing. Ternyata banyak rona Papua yang tidak tampak nyata dihadapan kita. Rona yang ternyata penuh luka dan duka bagi masyarakat (suku) disana.

Bukan serta merta menjadikan adat dan budaya sebagai identitas bangsa, melainkan justru dibatasi ruang kehidupannya. Seperti yang tengah marak belakangan ini, All Eyes on Papua, adalah rona merah membara dari suku adat yang berani teriak pertentangan.

Persoalan pembukaan lahan bagi industri ekstraktif, fakta sejarahnya kerap tinggalkan berbagai konflik agraria. Persoalan konflik yang menjurus pada resistensi antara masyarakat dengan perusahaan, dan bahkan pemerintah. Dimana ini tak hanya terjadi di Papua.

Khususnya bagi masyarakat adat, yang memiliki hak atas kepemilikan tanah adatnya. Seperti pada Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999, perihal hak ulayat terhadap tanah adat. Jauh dari itu, ada juga Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960.

Bagaimana UUPA No. 5 Th. 1960, mengakui adanya hak ulayat bagi masyarakat adat. Dengan penegasan pada Pasal 3, bahwa hak ulayat diakui "sepanjang menurut kenyataannya masih ada". Artinya jika suatu tanah adat dialih, maka ada hukum adat yang berlaku.

Tak terkecuali bagi konsensus alih fungsi lahan sepanjang hak adat masih ada. Bahkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pernah menyebutkan, bahwa telah terjadi 241 konflik berlatar agraria sepanjang tahun 2023.

Dimana kasus tertinggi saat ini masih dipegang oleh sektor perkebunan, dan salah satunya adalah industri sawit. Alih fungsi lahan yang terjadi, sering dianggap merugikan tanah masyarakat setempat, yang mayoritasnya berstatus tanah adat.

Banyak masyarakat adat yang disebut mengalami kerugian besar. Seperti kehilangan lahan, kehilangan mata pencaharian, bahkan tidak ada lagi lahan untuk berlindung (bermukim). Ditengah bayang-bayang kriminalisasi dan penganiayaan pihak-pihak tertentu.

Dalam hal ini tentu yang berkepentingan dalam alih urus lahan. Seperti halnya yang terjadi di Papua kini, alih fungsi lahan/tanah adat menjadi area perkebunan, tentu sangat merugikan suku setempat. Khususnya dalam hak memperoleh penghidupan yang layak.

Sepanjang 5 tahun belakangan ini, konflik agraria tercatat terus meningkat. Baik dengan PTPN ataupun swasta, yang telah merugikan sebanyak 37.553 KK dengan luas 124.545 Ha per tahun 2023 (Data KPA). Inilah fakta yang tidak dapat kita pungkiri realitanya.

Kesadaran perihal krisis iklim yang makin parah, kiranya dapat memberi abstraksi bagi kita bagaimana persoalan lahan/hutan dapat kita jaga sama-sama. Bukan sekedar memberi tanggung jawab kepada para penjaga tanah adat (suku).

Perjuangan Suku Awyu dan Moi yang telah berani bersuara lantang, tentu harus didukung seiring kesadaran kita bersama. Bukan sekedar bersikap latah, lantaran trend, tanpa mengetahui realitas yang terjadi dibalik kerusakan alam.

Kasus serupa (penyerobotan) lahan adat atas kepentingan industri inilah yang dapat kita cermati. Bagaimana regulasi yang tampak, akan mementingkan kepentingan rakyat (masyarakat adat) ataukah pemodal? Serta bagaimana hukum melihat konflik yang serupa.

Walau sebenarnya beberapa tahun silam (2015), Mas Dhandy Laksono telah membeberkan fakta bagaimana orang-orang Mahuze dari Suku Marind di Merauke telah berkeras menentang perluasan lahan yang berpotensi merusak alam Papua.

Tentu kita juga tidak menutup mata, perihal tanah Borneo terhadap berbagai kerusakan alam yang terjadi disana. Khususnya dalam menghadapi eksploitasi alam. Termasuk di Sumatera dan Sulawesi, serta daerah lainnya. Semoga bermanfaat dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun