Sepanjang 5 tahun belakangan ini, konflik agraria tercatat terus meningkat. Baik dengan PTPN ataupun swasta, yang telah merugikan sebanyak 37.553 KK dengan luas 124.545 Ha per tahun 2023 (Data KPA). Inilah fakta yang tidak dapat kita pungkiri realitanya.
Kesadaran perihal krisis iklim yang makin parah, kiranya dapat memberi abstraksi bagi kita bagaimana persoalan lahan/hutan dapat kita jaga sama-sama. Bukan sekedar memberi tanggung jawab kepada para penjaga tanah adat (suku).
Perjuangan Suku Awyu dan Moi yang telah berani bersuara lantang, tentu harus didukung seiring kesadaran kita bersama. Bukan sekedar bersikap latah, lantaran trend, tanpa mengetahui realitas yang terjadi dibalik kerusakan alam.
Kasus serupa (penyerobotan) lahan adat atas kepentingan industri inilah yang dapat kita cermati. Bagaimana regulasi yang tampak, akan mementingkan kepentingan rakyat (masyarakat adat) ataukah pemodal? Serta bagaimana hukum melihat konflik yang serupa.
Walau sebenarnya beberapa tahun silam (2015), Mas Dhandy Laksono telah membeberkan fakta bagaimana orang-orang Mahuze dari Suku Marind di Merauke telah berkeras menentang perluasan lahan yang berpotensi merusak alam Papua.
Tentu kita juga tidak menutup mata, perihal tanah Borneo terhadap berbagai kerusakan alam yang terjadi disana. Khususnya dalam menghadapi eksploitasi alam. Termasuk di Sumatera dan Sulawesi, serta daerah lainnya. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H