Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Arti Cinta dari Tan Malaka

1 April 2024   08:00 Diperbarui: 1 April 2024   08:04 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku karya Matu Mona (sumber: dokpri)

Siapa yang tidak kenal seorang tokoh fenomenal ini? Tan Malaka dianggap sebagai tokoh lintas zaman yang sanggup memberi dampak besar bagi bangsa Indonesia. Tak lain karena pemikirannya yang revolusioner pada zamannya. Tentunya demi Indonesia merdeka.

Tan Malaka, dianggap sebagai Bapak Republik, karena perjuangannya dalam menentang kolonialisme. Baik pada masa Belanda, hingga Jepang. Pun tatkala Indonesia merdeka, beliau memberi kontribusi yang luar biasa dalam menentukan arah bangsa.

Arah bangsa yang dimaksud adalah, soal sistem pemerintahan. Telah lama Tan Malaka memberi gagasan sistem pemerintahan Republik dengan berbagai pendekatan historisnya. Hal itu dituangkannya dalam buku berjudul Naar de Republiek Indonesia pada tahun 1922.

Tan Malaka, lahir di Pandang Gadang, Lima Puluh Koto, Sumatera Barat, pada bulan Juni 1896. Lingkungannya sarat dengan nuansa religi, dengan pengaruh ibunya yang memiliki darah bangsawan. Tan kecil pun dikenal dengan nama Ibrahim.

Kala sekolah di Kweekschool (SMA) Bukittinggi, Ibrahim dikenal sebagai anak yang cerdas. Hal inilah yang membuat teman-teman sebaya takjub dan sempat menaruh hati. Pun dengan Ibrahim, yang diam-diam menyukai seorang perempuan bernama Syarifah Nawawi.

Tan kecil kerap kedapatan bertemu dengan Syarifah, walau sekedar diskusi perihal tugas sekolah. Namun, rasa cintanya tak berlangsung lama. Usai lulus sekolah, Ibrahim yang hendak diberi gelar Datuk, justru memilih menghindar. Inilah titik balik dirinya.

Keluarganya pun memberi dua pilihan, menerima gelar atau dinikahkan dengan perempuan pilihan keluarga. Pada akhirnya Ibrahim pun hanya memilih menerima gelar Datuk. Namun tidak untuk pilihan kedua. Ia masih menaruh hati dengan Syarifah.

Kehidupannya mulai berubah, sejak keluarganya menghendaki Ibrahim untuk melanjutkan sekolah di Eropa pada tahun 1913. Kisah asmaranya pun tetap dibawanya ke Belanda, dengan segudang aktivitas perjuangannya demi bangsanya.

Pada tahun-tahun pertama, Tan Malaka masih kerap menulis surat untuk Syarifah, namun hal itu berakhir. Lantaran kabar mengenai lamaran a.n Bupati Cianjur RAA. Wiranatakusumah dengan Syarifah didengarnya.

Peristiwa inilah yang makin membuatnya makin giat dalam kelompok komunis internasional. Ia kecewa, dengan sikap para kaum feodal, yang kerap bertindak semena-mena terhadap rakyat. Kiranya demikian yang diungkap oleh Syafruddin Munir dalam Tan Malaka; Kisah Cinta dan Pemikiran-Pemikirannya.

Bahkan Jamaluddin Tamim pernah menceritakan secara singkat, bagaimana Tan Malaka kemudian diketahui menjalin hubungan dengan seorang perempuan Belanda. Ia tidak larut dalam kesedihan, walau Syarifah adalah cinta pertamanya.

Di Belanda, Tan Malaka dekat dengan Fenny Struijvenberg. Seorang terpelajar yang dianggapnya jauh dari jerat feodalisme. Namun fakta bahwa Fanny berasal dari kalangan terpandang inilah yang akhirnya membuat Tan Malaka dilema.

Pergolakan yang terjadi di Belanda, pada akhirnya membuat Tan Malaka memilih untuk fokus pada organisasi terpelajar. Revolusi Rusia 1917, membuat suasana Eropa makin tidak menentu. Hingga membuatnya memilih kembali ke Indonesia.

Selama kembali di Indonesia pada tahun 1919, ia memilih untuk jadi pengajar di Deli, dan aktif di ISVD. Tan Memilih untuk "join" dengan Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan kelompok komunis. Dalam masa ini, ia cenderung memilih untuk jadi aktivis pergerakan.

Sepak terjangnya pun mencuri perhatian polisi Hindia Belanda. Alih-alih dianggap berbahaya, maka ditangkaplah Tan Malaka, untuk diasingkan ke Belanda. Selama tahun 1922, aktivitasnya makin meningkat, di Eropa, dan Soviet pun menaruh perhatian padanya.

Apalagi sejak menulis buku Naar de Republiek Indonesia di Kanton pada tahun 1925. Lagi-lagi ia menjadi buronan polisi internasional. Namun, pilihannya tidak lagi ke Indonesia, lantaran gerakan komunis tengah dihancurkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Tahun 1925, Tan Malaka memilih Filiphina sebagai tujuan perjuangannya. Selama disana, ia diketahui sempat dekat dengan seseorang perempuan bernama Carmen. Hingga pada suatu waktu membuatnya kembali ditangkap, dan diasingkan kembali ke China.

Tak jelas bagaimana kisah selanjutnya bersama Carmen. Lantaran Tan Malaka memilih untuk mengasingkan diri sejak tahun 1927. Hingga diketahui ia tinggal di Shanghai selama beberapa tahun.

Selama di Shanghai, Tan Malaka disebut sangat dekat dengan seorang perempuan yang mendampinginya. Pun kala ia berada di Xiamen, ada seorang perempuan berinisial AP, yang selalu memberi kabar tentang kondisinya.

Tan Malaka memang diketahui hendak kembali ke Indonesia, dengan jalan tujuan Singapura, dan kemudian ke Sumatera pada kisaran tahun 1942. Yakni selama Jepang berkuasa dengan segala realita pergerakan dan keadaan sosial yang memprihatinkan.

Baru pada tahun 1945, Tan Malaka menampakkan dirinya di Jakarta. Ia menemui Ahmad Soebardjo yang telah dikenalnya selama berada di Eropa. Alih-alih takjub dengan peristiwa Proklamasi, Tan Malaka justru kepincut dengan keponakan Subarjdo, Paramita Abdurrahman.

Kedekatannya sampai diasumsikan mereka telah bertunangan. Sambil mencermati keadaan negara yang ia cita-citakan. Walau kemudian, pilihan perjuangan kembali menyala dalam dirinya. Tan Malaka merasa kecewa dengan pilihan diplomasi yang membuat Belanda datang kembali ke Indonesia.

Ia lantas membuat barisan oposisi untuk mengkritisi kebijakan Pemerintah Indonesia yang tidak berani melawan Sekutu. Selama tahun 1946 hingga 1948, Tan Malaka lebih memilih bergerilya bersama para pengikutnya. Merdeka 100 persen adalah harga mati bagi dirinya.

Bahkan kala meletus huru-hara Surakarta pra peristiwa Madiun Affair di tahun 1948. Tan Malaka bersama Barisan Banteng melawan para simpatisan PKI hingga terdesak. Namun, apa lacur, sejarah tertulis berbeda dengan harapannya bagi masa depan Indonesia.

Kala Tan Malaka bergerak ke Kediri, ia justru ditangkap oleh pasukan "liar" Republik. Tak lama, ia pun dieksekusi di sekitar pegunungan Wilis. Perjuangan dan cintanya pun berakhir di ujung senapan.

Suatu peristiwa yang sangat disayangkan oleh para tokoh nasional kala itu. Falsafah cinta Tan Malaka sejatinya hanyalah sebuah harapan negara yang merdeka dan berdaulat. Tak takut kepada siapapun juga, walau dengan taruhan nyawa.

Merdeka 100 persen adalah cinta yang selalu dibawanya, cinta atas rasa saling memanusiakan manusia. Bukan sekedar cinta atas hasrat ingin bersama. Walau harus ia perjuangkan hingga ke liang lahat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun