Kedekatannya sampai diasumsikan mereka telah bertunangan. Sambil mencermati keadaan negara yang ia cita-citakan. Walau kemudian, pilihan perjuangan kembali menyala dalam dirinya. Tan Malaka merasa kecewa dengan pilihan diplomasi yang membuat Belanda datang kembali ke Indonesia.
Ia lantas membuat barisan oposisi untuk mengkritisi kebijakan Pemerintah Indonesia yang tidak berani melawan Sekutu. Selama tahun 1946 hingga 1948, Tan Malaka lebih memilih bergerilya bersama para pengikutnya. Merdeka 100 persen adalah harga mati bagi dirinya.
Bahkan kala meletus huru-hara Surakarta pra peristiwa Madiun Affair di tahun 1948. Tan Malaka bersama Barisan Banteng melawan para simpatisan PKI hingga terdesak. Namun, apa lacur, sejarah tertulis berbeda dengan harapannya bagi masa depan Indonesia.
Kala Tan Malaka bergerak ke Kediri, ia justru ditangkap oleh pasukan "liar" Republik. Tak lama, ia pun dieksekusi di sekitar pegunungan Wilis. Perjuangan dan cintanya pun berakhir di ujung senapan.
Suatu peristiwa yang sangat disayangkan oleh para tokoh nasional kala itu. Falsafah cinta Tan Malaka sejatinya hanyalah sebuah harapan negara yang merdeka dan berdaulat. Tak takut kepada siapapun juga, walau dengan taruhan nyawa.
Merdeka 100 persen adalah cinta yang selalu dibawanya, cinta atas rasa saling memanusiakan manusia. Bukan sekedar cinta atas hasrat ingin bersama. Walau harus ia perjuangkan hingga ke liang lahat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H