Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Teori-Teori Kedaulatan Rakyat

6 Desember 2023   07:00 Diperbarui: 6 Desember 2023   07:08 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kedaulatan rakyat (sumber: shutterstock via kompas.com)

Demokrasi, merupakan sebuah sistem pemahaman bernegara yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebuah regulasi sistem pemerintahan yang bersumber dari rakyat sebagai unsur utamanya. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Miriam Budiardjo.

Tentunya dalam berbagai unsur kedaulatan rakyat, yang didasari melalui mekanisme berbagai lembaga pada pemerintahan. Unsur sistemik inilah yang kemudian menjadi alur dinamisasi yang dikenal sebagai demokratisasi. Dalam konteks sebuah negara bangsa.

Berikut ini adalah pengertian teori-teori kedaulatan rakyat menurut para ahli;

1. John Locke

Awalnya John Locke memperkenalkan sistem demokrasi sebagai bentuk pengakuan terhadap rakyat sebagai wujud eksistensi sebuah negara. Tafsirannya dalam pembatasan wewenang negara, pada prinsipnya bersumber dari realitas negara tanpa ada relasi sosial.

Maka, pembatasan wewenang perlu dilakukan guna mengurangi terjadinya konflik sosial-negara. Dengan dibentuknya sebuah sistem Parlemen, yang mendasari hadirnya para wakil rakyat didalam sebuah sistem pemerintahan. Termasuk dalam keadaan perang.

Kemudian dibentuknya lembaga-lembaga negara, yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan federatif. Tiga komponen yang memiliki tugas dan wewenangnya masing-masing (Harun Hadiwijono 1983). Dengan penjelasan sebagai berikut;

  • Legislatif: kekuasaan yang membuat dan menetapkan berbagai macam Undang-Undang.
  • Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang.
  • Federatif: kekuasaan untuk menerapkan status perang dan damai, serta membuat perjanjian dengan negara lain.

Melalui sistem pembagian kekuasaan ini, Locke memiliki hasrat untuk memberikan porsi lebih terhadap rakyat dalam keikutsertaan mengatur sebuah negara. Dimana menurutnya, lembaga legislatif adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan.

Karena sifatnya yang berasal dari sistem Parlemen atau keterwakilan rakyat. Maka wewenang kekuasaan dapat saling dikontrol satu dengan yang lainnya. Walaupun penyalahgunaan wewenang dan fungsi tetap dapat terjadi pada masing-masing lembaga tersebut.

2. Montesquieu

Sosok ini dianggap sebagai pencetus Trias Politica dalam sistem kenegaraan modern, yang tak lain sebagai bentuk penyempurnaan dari apa yang telah diperkenalkan oleh John Locke. Pembagian lembaga negara menjadi hal utama dalam sistem demokrasi.

Tak lain demi tercapainya sebuah regulasi pemerintahan yang mengedepankan kepentingan rakyat, daripada golongan atau kuasa atas suatu pemerintahan. Kontrol kekuasaan menjadi topik utama Montesquieu dalam pemerintahan dengan tiga sistem lembaganya.

Yakni lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan penjelasan sebagai berikut;

  • Legislatif: adalah tempat para wakil rakyat yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang.
  • Eksekutif: adalah kekuasaan tertinggi dalam menjalankan Undang-Undang melalui berbagai ketentuannya.
  • Yudikatif: adalah lembaga peradilan tertinggi dalam menafsirkan Undang-Undang melalui mekanisme hukum yang berlaku.

Montesquieau menjadikan tiga unsur lembaga pemerintah menjadi sebuah sistem yang saling mengawasi. Terkait peranan, tugas, serta tanggung jawabnya sebagai lembaga pemerintahan. Khususnya untuk menghindari kekuasaan yang cenderung absolut.

Jika John Locke mempresentasikan Inggris sebagai role modelnya, maka Montesquieu memproyeksikan Perancis sebagai acuannya. Kita ketahui kala itu, sistem pemerintahan Perancis cederung bersifat absolut, dan menihilkan rakyat sebagai bagian dari negara.

3. J.J. Rousseau

Sedangkan teori mengenai kedaulatan rakyat, tak lain berasal dari J.J. Rousseau. Dengan pernyataan bahwa Raja memerintah sebuah negara hanyalah sebagai wakil dari rakyatnya. Dengan kata lain, rakyat memberi kuasa kepada Raja untuk mengatur sebuah negara.

Dalam sistem pemerintahan modern, Raja biasanya identik dengan seorang Presiden. Dimana Presiden inilah yang ditetapkan sebagai lembaga Eksekutif, sedangkan Parlemen sebagai kekuasaan Legislatifnya.

Rousseau menjelaskan dalam Du Contract Social dengan representasi rakyat sebagai individu bebas dalam sebuah negara. Dimana negara merupakan hasil dari kontrak sosial dengan rakyatnya, seperti yang dikemukakan oleh Soehino, SH dalam "Ilmu Negara".

Termasuk dengan berbagai Undang-Undang yang ditetapkan untuk kepentingan rakyat. Yakni pemerintah di satu pihak, dan rakyat di pihak lain, melalui berbagai regulasi kebijakan publik (rakyat). Dengan asas pemenuhan hak rakyat sebagai tujuannya.

Mengenai kedaulatan berada di tangan rakyat, paradigmanya tentu mekanisme yang dijalankan pun harus sesuai dengan kepentingan rakyat. Bukan berdasar atas kepentingan kelompok atau golongan tertentu yang identik dengan relasi kekuasaan.

Koreksinya tak lain adalah bentuk realisasi sistem demokrasi yang berangkat dari "kontrak politik" kala pemerintahan berlangsung. Dalam hal ini biasanya mengemuka ketika regulasi pergantian pemerintahan terjadi melalui sebuah mekanisme pemilihan.

Jika di Indonesia sama halnya kala kampanye jelang pemilu dilaksanakan. Khususnya kala pemerintahan telah berjalan dengan opsi pemenuhan janji-janji politik layaknya kontrak sosial antara pejabat pemerintah dengan rakyatnya.

Kedaulatan Rakyat Dalam Pemerintahan di Indonesia

Penerapan kedaulatan rakyat di Indonesia, memang memiliki argumentasi yang serupa dengan apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh diatas. Khususnya sejak Pemerintah Republik Indonesia berdiri sebagai negara yang memegang asas demokrasi.

Ejawantahnya adalah Pancasila, dengan berbagai sila yang terkandung di dalamnya. Tak lain dalam upaya pemenuhan hak rakyat melalui berbagai sistem kenegaraan yang terkonsep dalam aspek persatuan, berkeadilan dan gotong royong.

Tak luput dengan mekanisme mufakat seperti yang dikemukakan pada sila ke empat. Melalui reduksi kalimat mufakat atas tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan mengedepankan unsur Ketuhanan dan Kemanusiaan yang jadi poin utamanya.

Dalam pendekatan sejarah, konsep perumusan Pancasila tak lain bertujuan untuk kemaslahatan rakyat Indonesia. Walaupun berbagai bentuk perbedaan yang ada, dengan tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Pergantian sistem pemerintahan yang kerap terjadi kala Indonesia merdeka pun sebenarnya menjadi bagian dari upaya tercapainya sistem demokrasi kebangsaan. Pun kala Orde Lama dan Orde Baru berkuasa dengan tetap mengedepankan proyeksi atas Pancasila.

Walaupun diaspora kerap terjadi kala masa pemilu tiba. Tak lain adalah bagian dari mekanisme demokratisasi yang dilakukan, demi meminimalisir terjadinya absolutisme dalam sebuah pemerintahan. Hal inilah yang kiranya perlu dipahami saat ini.

Termasuk perihal "janji kampanye" yang serupa dengan kontrak sosial antara pemerintah dengan rakyatnya. Tentunya agar tidak terjadi bias persepsi dalam menafsirkan kedaulatan di tangan rakyat, sesuai dengan prinsip negara demokrasi.

Semoga bermanfaat, salam damai, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun