Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Beda Pendapat MK dan KPU Soal Ruang Kampanye

26 September 2023   05:45 Diperbarui: 26 September 2023   05:48 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kebebasan ruang kampanye di lingkungan lembaga pendidikan. Banyak pihak yang menyayangkan keputusan tersebut, lantaran sekolah dapat dipergunakan sebagai ruang kampanye para peserta pemilu.

Walau secara naratif, banyak yang mendukung keputusan tersebut. Sekiranya MK dapat memahami, bahwa pada tingkat pendidikan dibawah perguruan tinggi, para pelajar tidak seluruhnya memiliki hak pilih.

Secara argumentatif hal ini turut mengemuka, sebagai bentuk koreksi bagi putusan MK yang dianggap sarat kepentingan. Dalam persepsi publik yang memahami bahwa ruang ibadah dan pendidikan adalah area netral bagi ajang politisasi.

Bukan serta merta menyamakan seluruh ruang pendidikan sebagai arena rebutan suara semata. Tanpa ada unsur edukasi yang dapat diberikan kepada para konstituennya secara visioner. Jika yang dimaksud adalah ruang perguruan tinggi, mungkin tepat adanya.

Sedangkan jika masuk dalam kategori dibawah perguruan tinggi, tentu akan menimbulkan berbagai soal. Khususnya dalam aktivitas belajar mengajar, yang tentu beda dengan suasana perkuliahan. Termasuk daya nalar politik dan pemahaman para respondennya.

Kemendikbud dan Kemenag pun sepakat dengan sikap KPU yang menegaskan bahwa lembaga pendidikan dibawah perguruan tinggi untuk tetap bersifat netral. Tidak terlibat berbagai unsur politisasi lembaga pendidikan seperti yang tengah dikhawatirkan publik.

Apalagi jika mengganggu kegiatan belajar dan mengajar para peserta didik. Sebuah hal yang tentunya merugikan bagi pelajar, yang belum semuanya memiliki hak pilih. Catatan inilah yang kiranya menjadi dasar perbedaan pandangan antara MK dan KPU.

Pun kala MK menegaskan, bahwa aturan tersebut hanya ditujukan pada lembaga pendidikan tinggi. Bukan untuk lembaga pendidikan dibawahnya. Namun, putusan peradilan tidak merincikan perihal ruang kampanye secara spesifik di lembaga pendidikan.

Walau tanpa menggunakan atribut politik dalam tujuannya mencari dukungan massa. Tetap saja, lembaga pendidikan kiranya dapat diproyeksikan sebagai ruang edukasi politik. Tanpa harus terlibat dengan politik praktis, khususnya jelang masa kampanye pemilu.

Argumentasi hukum perihal keputusan tersebut pun dirasa masih penuh perdebatan. Lantaran ketetapannya telah diputuskan oleh MK. Tinggal bagaimana KPU merealisasikannya dalam bentuk yang relevan di lapangan, sebagai basic analisisnya.

"Akan Tidak fair tentunya, jika kampanye dilakukan di sekolah dengan memilih calon tertentu saja", kiranya demikian catatan diskusi dari beberapa orang tua siswa yang turut menanggapi keputusan tersebut.

Apalagi jika dalam sebuah lembaga pendidikan banyak unsur keberpihakan kepada partai politik tertentu. Suatu realitas yang tentu saja merugikan proses demokratisasi bagi pelajar. Konflik kepentingan akan sangat terlihat, dan dapat merusak edukasi demokrasi.

Stigmatisasi lembaga pendidikan sebagai arena kampanye pun kiranya turut memberi animo negatif bagi masyarakat sekitarnya. Terlebih kala perbedaan pandangan politik mengemuka menjadi ajang protes dari para pendukung calon tertentu.

Hingga berujung pada pendeskreditan lembaga pendidikan yang dianggap tidak netral ketika masa kampanye kala pemilu. Hal ini yang turut menyertai, mengapa ruang kampanye di lembaga pendidikan perlu ditinjau ulang pelaksanaannya.

Baik melalui ketetapan yang sesuai dengan kaidah hukum, atau melalui putusan KPU, sebagai pengawal pelaksanaan pemilu secara demokratis. Pun terhadap kegiatan edukasi bagi para pelajar tingkat atas, yang memang telah memiliki hak pilih dalam pemilu.

Banyak aspek yang kiranya menjadi catatan perihal putusan MK tersebut. Selain faktor edukasi, ataupun pemahaman demokratisasi di kalangan pelajar, yang masih dianggap belum baik. Atau dapat menyebabkan berbagai multitafsirnya.

Dengan kata lain, masih perlu pendampingan dalam menambah wawasan berdemokrasi yang positif. Sebagai bagian dari hak warga negara pada pemilu 2024 mendatang. Semoga bermanfaat, salam damai, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun