"Akan Tidak fair tentunya, jika kampanye dilakukan di sekolah dengan memilih calon tertentu saja", kiranya demikian catatan diskusi dari beberapa orang tua siswa yang turut menanggapi keputusan tersebut.
Apalagi jika dalam sebuah lembaga pendidikan banyak unsur keberpihakan kepada partai politik tertentu. Suatu realitas yang tentu saja merugikan proses demokratisasi bagi pelajar. Konflik kepentingan akan sangat terlihat, dan dapat merusak edukasi demokrasi.
Stigmatisasi lembaga pendidikan sebagai arena kampanye pun kiranya turut memberi animo negatif bagi masyarakat sekitarnya. Terlebih kala perbedaan pandangan politik mengemuka menjadi ajang protes dari para pendukung calon tertentu.
Hingga berujung pada pendeskreditan lembaga pendidikan yang dianggap tidak netral ketika masa kampanye kala pemilu. Hal ini yang turut menyertai, mengapa ruang kampanye di lembaga pendidikan perlu ditinjau ulang pelaksanaannya.
Baik melalui ketetapan yang sesuai dengan kaidah hukum, atau melalui putusan KPU, sebagai pengawal pelaksanaan pemilu secara demokratis. Pun terhadap kegiatan edukasi bagi para pelajar tingkat atas, yang memang telah memiliki hak pilih dalam pemilu.
Banyak aspek yang kiranya menjadi catatan perihal putusan MK tersebut. Selain faktor edukasi, ataupun pemahaman demokratisasi di kalangan pelajar, yang masih dianggap belum baik. Atau dapat menyebabkan berbagai multitafsirnya.
Dengan kata lain, masih perlu pendampingan dalam menambah wawasan berdemokrasi yang positif. Sebagai bagian dari hak warga negara pada pemilu 2024 mendatang. Semoga bermanfaat, salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H