September Hitam merupakan narasi sejarah dari berbagai peristiwa yang pernah terjadi pada masa silam. Khususnya dalam konteks pelanggaran HAM, yang kerap disebutkan sebagai kisah yang tak berkesudahan. Pun dengan beragam polemik pada setiap peristiwanya.
Berbagai kalangan memaknai September Hitam adalah bentuk kritik dari realitas kebangsaan dalam melihat HAM sebagai tonggaknya. Seperti pada kasus-kasus berikut ini:
1. Huru-hara 1965
Peristiwa yang terjadi pasca Pemberontakan G30S/PKI, membuat suasana mencekam di setiap daerah. Konflik sosial atas dasar ideologi politik menjadi marak, dengan aksi kekerasan dan penghilangan paksa. Khususnya simpatisan PKI, yang dianggap terlibat.
Aksi kekerasan dari berbagai pihak kala itu telah menyulut terjadinya berbagai amuk massa. Tak terkecuali dari kalangan nasionalis, agama, dan komunis. Walau tercatat banyak diantara korbannya adalah golongan komunis.
Pembunuhan, penculikan, dan penghilangan paksa, adalah hal lumrah yang terjadi kala itu. Namun, banyak pula yang turut menjadi korban adalah kalangan rakyat tak bersalah. Bersumber dari tuduhan, dan persoalan pribadi, hingga berakhir pada aksi kekerasan.
Persoalan HAM yang menarik tentu saja terhadap mereka yang dituduh terlibat atau bahkan tertuduh terlibat pemberontakan. Lantaran banyak rakyat yang justru tidak mengetahui terjadinya peristiwa di Jakarta. Ataupun realitas politik yang menyertainya.
Tak luput dari berbagai dalang kekerasan yang memicu terjadinya amuk massa. Semua seakan sirna seiring perkembangan zaman yang cenderung tidak memihak bagi pengungkapan masalah HAM selama kurun waktu 1965-1967.
Dimana Komnas HAM mencatat setidaknya ada 32.774 orang hilang atau dihilangkan dengan berbagai tuduhan yang belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya.
2. Tragedi Tanjung Priok
Muasalnya adalah kebijakan represif pemerintah kala itu dalam mengurai sikap resistensi umat Islam terhadap negara. Tepatnya pada tanggal 12 September 1984, huru-hara yang terjadi menyebabkan sekitar 400 orang meninggal dunia.
Banyak diantara warga sipil yang akhirnya ditahan pasca peristiwa tersebut. Walau disebutkan, sikap represif terjadi lantaran umat Islam menolak asas Tunggal Pancasila yang tengah dirancang oleh pemerintah.
Dalam pendekatan HAM, sikap represif hingga menghilangkan nyawa merupakan bentuk pelanggaran berat yang harus diselesaikan. Baik secara hukum, dan skema keadilan bagi para korbannya. Apalagi dalam demokratisasi yang menjadikan kritik sebagai prioritas.
Kasus Tanjung Priok memang memberi dampak besar bagi perkembangan pemerintah Orde Baru. Walaupun hingga kini, persoalan HAM atas peristiwa tersebut, belum dapat dikatakan tuntas dalam pengungkapannya.
3. Tragedi Semanggi II
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 24 September 1999 silam, merupakan rangkaian dari peristiwa Reformasi dengan berbagai kisahnya. Disebutkan 11 orang meninggal dunia, dan 217 orang lainnya luka-luka, dalam aksi demonstasi yang terjadi di Semanggi.
Penggunaan peluru tajam dalam membubarkan aksi, disebut-sebut sebagai penyebab jatuhnya banyak korban. Baik terhadap para mahasiswa atau masyarakat sipil yang terlibat dalam aksi demonstrasi menuntut reformasi pemerintahan.
Hingga kini, tuntutan keadilan bagi para korban yang meninggal seakan menemui jalan buntu. Nyaris tak ada perkembangan bagi penegakan keadilan, dengan hukum yang dianggap tidak memihak.
Lantaran pada tahun 2020 silam, Jaksa Agung telah menetapkan peristiwa Semanggi I dan II bukan merupakan pelangaran HAM berat.
4. Pembunuhan Munir
Peristiwa tragis yang dialami oleh aktivis HAM (Kontras), Munir Said Thalib dijelaskan adalah muasalnya. Munir meninggal ketika hendak menuju Amsterdam, Belanda, untuk studi. Yakni dengan cara diracun, ketika tengah berada di pesawat udara.
Penetapan tersangka kasus pembunuhan Munir pun telah disidangkan, dengan tersangka Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda. Namun, siapa aktor utama dibalik pembunuhan Munir, belum dapat diungkap hingga kini.
Ada semacam keraguan dalam mengungkapkan fakta hukum terkait peristiwa tersebut. Beragam argumentasi yang tampak dengan menyebut keterlibatan pejabat tinggi atau orang penting negara sebagai pelakunya.
Kasus Munir, kiranya sebagai puncak persoalan HAM yang belum tuntas dijalankan secara baik hingga kini. Tak luput perihal sistem hukum dan peradilan, yang disebut-sebut tidak sepenuhnya memihak pada HAM.
...
Semoga kisah singkat ini dapat mengingatkan kita pada sejarah masa lalu, demi masa yang akan datang. Salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H