Suku Melayu, belakangan ramai dalam jagad media dengan persoalan konflik agraria di Rempang. Bukan sekedar suku yang secara tiba-tiba mendiami suatu wilayah dengan tujuan tertentu. Melainkan lahir dan besar dari sejarah keberadaan sebuah suku bangsa yang merdeka.
Tak lain karena sejarah migrasi manusia pada masa lampau di wilayah Semenanjung Malaya. Dengan proses panjang yang akhirnya membentuk sebuah bangsa yang kaya akan adat dan budayanya. Seperti yang kita kenal dan ketahui saat ini.
Timothy P. Barnard, mengemukakan bahwa identifikasi penggunaan istilah Melayu, telah muncul sejak abad ke 15. Khususnya untuk merujuk kawasan di Selat Malaka atau wilayah Sumatera Timur, termasuk pulau-pulau di sekitarnya.
Bahkan diketahui telah berkembang sejak masa kerajaan Sriwijaya, melalui catatan I Tsing dengan nama Mo-lo-yu yang bertarikh 668 masehi. Lantaran kawasan tersebut dianggap sebagai "segitiga emas" perdagangan dunia sejak dahulu kala.
Termasuk proses kebudayaan yang berkembang melalui peralihan masa Hindu/Budha dan Islam. Dengan catatan masa keemasannya masing-masing, baik kala Kerajaan Sriwijaya berdiri hingga beralih menjadi Kesultanan Riau-Lingga sejak tahun 1720 masehi.
Wilayahnya meliputi area kepulauan yang berada di sekitar Batam hingga Natuna, dengan pulau Lingga sebagai pusat pemerintahan Kesultanan. Sedangkan, pulau Rempang, Galang, dan Bulang, menjadi basis pertahanan pasukan Kesultanan Riau-Lingga.
Dalam catatan kitab Raja Ali Haji (1890) pun mendeskripsikan sejarah Kesultanan Riau-Lingga berikut dengan para Sultan yang pernah memimpin disana. Khususnya untuk wilayah pesisir, yang menjadi kubu-kubu pertahanan laut.
Secara ekonomi, masyarakat di sekitar pulau memang menggantungkan hidupnya melalui hasil laut. Dengan profesi sebagai nelayan yang telah menjadi identitas budaya masyarakatnya. Sebagian lainnya adalah pedagang, yang menjadikan Selat Malaka sebagai ruang transaksinya.
Pun demikian, kala masuknya kolonial Belanda hingga masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kawasan Selat Malaka, memang menjadi area penting yang diperebutkan antar negara. Namun, identitas sebagai bangsa Melayu yang telah mengakar, menjadikannya sebagai etnis pribumi di kawasan tersebut.
Bahkan banyak diantara pejuang Republik yang lahir dari suku Melayu. Seperti Sultan Mahmud Riayat Syah, Tengku Sulung, hingga Letkol Abundjani pada masa revolusi fisik. Selain para pejuang yang turut lebur dalam peristiwa Medan Area, pada 13 Oktober 1945.
Selain itu, peristiwa pertempuran 5 Januari 1949 di Riau, turut menyita keterlibatan pasukan lokal dari wilayah kepulauan Riau. Selain latar belakang sejarah yang kental, masyarakat kepulauan pun memiliki semangat perjuangan yang luar biasa.
Inilah benang merah sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari kawasan Riau Kepulauan. Khususnya pulau Rempang, yang kini tengah masuk dalam ruang konflik agraria. Oleh karena itu, masyarakat Melayu akrab dengan slogan "Takkan Melayu Hilang di Bumi".
Sejarah panjang perihal masyarakat di area kepulauan, kiranya dapat menjadi rujukan dalam melihat realitas secara holistik. Tak terkecuali dalam pendekatan adat, budaya dan sejarahnya. Serta bukan sekedar melihatnya dari sudut pandang ekonomis.
Lantaran sejarah kolonialisasi di area Malaka, sudah jadi pengalaman masa lalu yang dihadapi masyarakat kepulauan sedari dulu. Tak terkecuali terhadap para agresor yang hendak menguasai wilayah mereka. Seperti kisah heroik Hang Tuah dalam mempertahankan harga diri bangsa Melayu.
Inilah kiranya, sepenggal kisah yang dapat disajikan terkait latar belakang bangsa Melayu secara historis. Khususnya dalam melihat perjuangan masyarakat pulau Rempang melalui sudut pandang yang luas. Salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H