Pada kesempatan ini penulis dapat kiranya sampaikan, perihal masifnya ruang ibadah sebagai arena unjuk kekuatan para simpatisan politik jelang Pemilu mendatang. Tak sekedar pada momen tertentu, melainkan hampir pada setiap kegiatan keagamaan.
Tak luput dari peran para pemuka agama, walau hanya sekedar memberi pandangan politisnya terhadap calon tertentu. Dengan tujuan dapat mempengaruhi pandangan politik jemaahnya. Terkait pasangan politik yang jadi pilihan para pemuka agama tersebut.
Atau bahkan jagad sosial media, dengan pelibatan calon tertentu sebagai "aktornya". Dengan pemanfaatan ruang digital sebagai arena kampanye terbuka. Sebuah antitesa dari demokratisasi yang terbuka dan berkeadilan, dalam upaya membangun simpati konstituen.
Walau hal ini konon tidak dikategorikan sebagai politik identitas, namun secara faktual publik menilainya demikian. Yakni politik pencitraan yang dilakukan menggunakan label agama dalam upaya mencari dukungan politik. Khususnya jelang gelaran pemilu 2024.
Berbagai macam narasi yang membangkitkan sikap pro dan kontra, pun menjadi bagian dari dinamika politisasi ruang ibadah. Ada yang memberi dukungan, dan tentu saja ada yang menentangnya. Dengan bermacam argumentasi yang dikemukakan.
Artinya bahwa, aturan mengenai ruang ibadah sebagai arena kampanye, bukanlah menjadi kegiatan yang positif. Lantaran banyak menuai pro kontra dari kalangan masyarakat. Tujuan kemurnian beribadah dengan sifat Illahiahnya, justru memberi realitas duniawi.
Dengan berbagai konflik yang membuat banyak kalangan berseteru satu dengan lainnya. Inilah arena politik yang sejatinya, apalagi jika berbeda dalam pilihan politik. Sekat antar kelompok atau golongan semakin terbuka dalam ruang sosial.
Tak luput dengan area ibadah, yang menjadikannya faktor penentu dan sarat dengan politik identitas. Maka dapat disimpulkan bahwa identitas agama saat ini masih dipakai demi orientasi politik yang pragmatis.
Dimana sejarah telah mencatatnya sebagai politisasi ruang agama yang kerap memicu konflik. Seperti dalam perseteruan antara golongan agama dan komunis, selama media 1960an. Hingga memuncak pada tahun 1965, dengan Peristiwa Kanigoro sebagai reaksi.
Konflik antara Partai Masyumi dengan PKI menjadi muasal pertikaian yang berbuntut dengan aksi kekerasan. Walau faktanya sikap antipati golongan komunis terhadap partai politik berbasis agama, adalah latar belakang masalah pada kurun waktu tersebut.