Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Ruang Ibadah Jadi Arena Kampanye?

13 September 2023   05:45 Diperbarui: 13 September 2023   05:51 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kampanye (sumber: kompas.com/Andika Bayu Setyaji)

Pada kesempatan ini penulis dapat kiranya sampaikan, perihal masifnya ruang ibadah sebagai arena unjuk kekuatan para simpatisan politik jelang Pemilu mendatang. Tak sekedar pada momen tertentu, melainkan hampir pada setiap kegiatan keagamaan.

Tak luput dari peran para pemuka agama, walau hanya sekedar memberi pandangan politisnya terhadap calon tertentu. Dengan tujuan dapat mempengaruhi pandangan politik jemaahnya. Terkait pasangan politik yang jadi pilihan para pemuka agama tersebut.

Atau bahkan jagad sosial media, dengan pelibatan calon tertentu sebagai "aktornya". Dengan pemanfaatan ruang digital sebagai arena kampanye terbuka. Sebuah antitesa dari demokratisasi yang terbuka dan berkeadilan, dalam upaya membangun simpati konstituen.

Walau hal ini konon tidak dikategorikan sebagai politik identitas, namun secara faktual publik menilainya demikian. Yakni politik pencitraan yang dilakukan menggunakan label agama dalam upaya mencari dukungan politik. Khususnya jelang gelaran pemilu 2024.

Berbagai macam narasi yang membangkitkan sikap pro dan kontra, pun menjadi bagian dari dinamika politisasi ruang ibadah. Ada yang memberi dukungan, dan tentu saja ada yang menentangnya. Dengan bermacam argumentasi yang dikemukakan.

Artinya bahwa, aturan mengenai ruang ibadah sebagai arena kampanye, bukanlah menjadi kegiatan yang positif. Lantaran banyak menuai pro kontra dari kalangan masyarakat. Tujuan kemurnian beribadah dengan sifat Illahiahnya, justru memberi realitas duniawi.

Dengan berbagai konflik yang membuat banyak kalangan berseteru satu dengan lainnya. Inilah arena politik yang sejatinya, apalagi jika berbeda dalam pilihan politik. Sekat antar kelompok atau golongan semakin terbuka dalam ruang sosial.

Tak luput dengan area ibadah, yang menjadikannya faktor penentu dan sarat dengan politik identitas. Maka dapat disimpulkan bahwa identitas agama saat ini masih dipakai demi orientasi politik yang pragmatis.

Dimana sejarah telah mencatatnya sebagai politisasi ruang agama yang kerap memicu konflik. Seperti dalam perseteruan antara golongan agama dan komunis, selama media 1960an. Hingga memuncak pada tahun 1965, dengan Peristiwa Kanigoro sebagai reaksi.

Konflik antara Partai Masyumi dengan PKI menjadi muasal pertikaian yang berbuntut dengan aksi kekerasan. Walau faktanya sikap antipati golongan komunis terhadap partai politik berbasis agama, adalah latar belakang masalah pada kurun waktu tersebut.

Pun demikian, jauh sebelum masa konflik di tahun 1965. Golongan komunis yang tergabung dalam Sarekat Islam Merah, memakai simbol agama demi mendapatkan dukungan massa secara politis. Tak lain kalangan umat Islam yang kala itu tengah bergejolak.

Dimana sejak tahun 1917an, PKI di Semarang telah memakai simbol agama sebagai "jargon" kampanyenya. Ditambah dengan hadirnya Haji Misbach, yang menjadikan agama sebagai identitas politik golongan komunis di Surakarta sejak tahun 1923.

Tak luput dengan identifikasi pemberontakan DI/TII yang digelorakan oleh Kartosoewiryo di Jawa Barat pada tahun 1948. Dasar pembentukan Negara Islam Indonesia/NII, diwarnai dengan politisasi agama sebagai identitas gerakannya.

Semua demi kepentingan daya dukung sosial terhadap orientasi politik setiap pelakunya. Dengan beragam catatan baik dan buruknya, dengan atau tanpa unsur yang kontradiktif. Seperti dalam peristiwa perlawanan petani Banten pada tahun 1888.

Dimana perlawanan petani Banten kala itu digelorakan oleh kalangan ulama yang menentang kolonialisasi Belanda. Dalam skema yang pernah dilakukan kala perlawanan kedaerahan berlangsung di Indonesia.

Yakni ketika Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro memakai identitas agama untuk melawan penjajah Belanda di daerahnya. Hal ini kiranya secara positif dapat diberlakukan sesuai dengan tujuannya dan bukan demi kepentingan yang pragmatis.

Inilah kiranya jawaban yang dapat diberikan perihal politisasi ruang ibadah yang ramai belakangan ini. Serta bukan sekedar demi orientasi politik yang sesaat, tanpa melihat realitas sosialnya secara holistik. Tanpa harus mencederai proses demokratisasi.

Pro kontra yang tampak pun kiranya dapat dijadikan bahan refleksi bersama. Demi menilai secara komprehensif perihal aturan ruang kampanye jelang pemilu 2024 mendatang. Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun