Bak buah simalakama, putusan MK yang memberi ruang terbuka terhadap lingkungan pendidikan untuk dijadikan arena kampanye. Tak luput dari para kandidat, yang memang memiliki pendukungnya masing-masing dalam ruang akademisi. Selain dari warna almamater, ataupun latar belakang organisasi dengan dinamika politik para akademisi.
Inilah mengapa, narasi politisasi kampus kerap mengemuka kala jelang pemilu tiba. Banyak kiranya diantara para mahasiswa yang terlibat secara aktif dalam kegiatan politik. Sebuah hal yang membuat kredibilitas mahasiswa menjadi kurang populer di muka publik.
Apalagi amanatnya sebagai agen perubahan dan sosial kontrol, bagi sistem pemerintahan. Entah dalam konsep check and balance, atau penyadaran politik bagi masyarakat awam. Tanpa adanya unsur politik yang mengikat secara pragmatis.
Ada semacam hasrat politik yang memang menjadi orientasi para aktivis khususnya. Namun banyak diantara lainnya, yang masih bertahan dengan idealismenya. Dua sudut pandang yang kerap bersinggungan ini, tentu menambah konstelasi politik di dalam kampus makin menarik.
Bukan sekedar menampilkan identitas kelompok atau organisasinya. Melainkan melalui sebuah skema kegiatan yang melibatkan para kontestan pemilu dengan berbagai narasi akademik. Entah dalam wujud seminar, atau kuliah kebangsaan, tanpa tahu atas apa yang terjadi dibelakangnya.
Secara subjektif memang, hal ini dapat dijadikan pandangan yang tendensius bagi kalangan mahasiswa. Apalagi bagi para aktivisnya, yang terbagi menjadi dua kepentingan politis dan demokratisasi. Tanpa ada upaya untuk saling meredam gesekan politik dan publik.
Parahnya, animo yang berkembang justru mengemuka lantaran sikap cawe-cawe para mahasiswa dalam panggung politik. Khususnya jelang gelaran pemilu nanti. Melalui berbagai kelompok relawan yang dibentuk demi pemenangan pilihannya.
Bukan justru memberi edukasi politik bagi masyarakat, demi terselenggaranya pemilu yang berkeadilan. Tanpa ada yang dirugikan dalam tata pelaksanaannya kelak. Tak terkecuali kala gelar kampanye terbuka dilaksanakan.
Uniknya, ada semacam tradisi latah yang berkembang dikalangan aktivis kampus. Melalui pengalaman secara langsung penulis dapat sampaikan. Perihal safari politik capres yang hendak dilakukan secara bergiliran di beberapa kampus terkemuka.
Baik BEM SI, BEM Nus, atau bahkan BEM PTM kiranya dapat reflektif terhadap realitas politisasi kampus saat ini. Bukan justru terlibat secara aktif dalam "ulah" individual pengurusnya, yang tak lain hanya demi kepentingan pragmatisnya semata.