Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Cyberbullying Politik Wujud Demoralisasi Demokrasi

9 Agustus 2023   05:45 Diperbarui: 11 Agustus 2023   07:09 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cyberbullying. (Dok. Shutterstock via kompas.com)

Perundungan dalam media digital, kiranya sudah merebak ke berbagai aspek selain individu semata. Seperti dalam ruang politik yang kerap mewarnai jagad sosial media dalam berbagai wacana. Secara sistemik terurai pada aksi para buzzer di berbagai ruang digital.

Realitas yang tampak menodai prinsip demokrasi yang tersaji dalam perspektif kebebasan berpendapat. Dalam orientasi pemenuhan hak politik bagi setiap warga negara, yang memiliki kontribusi bagi negara. Khususnya dalam area check and balance kebijakan publik.

Tampaklah realistis, jika narasi buzzer dengan skema blocking public opinion sudah begitu mengakar dalam ruang digital. Hingga membuat wacana realitas tidak mendapatkan ruang yang populis karena faktor demoralisasi. Baik berupa data atau sesuai fakta.

Maka wajar jika keberpihakan publik dalam ruang politik tidak menunjukkan progresifitas yang positif. Kritik bukan berarti oposisi, karena sifatnya lebih mengarah pada koreksi. Sedangkan oposisi lebih bertindak secara politik, tanpa ada keterlibatan publik.

Dua unsur yang kontra produktif ini memang memberi sekat antara area publik dengan area politik. Walau secara orientasi memiliki tujuan yang sama. Namun yang justru mendapatkan tantangan serius di area digital adalah publik itu sendiri.

Tanpa ada dukungan hukum ataupun keberpihakan politik yang mampu melindungi secara legal formilnya. Berdasarkan pendekatan rasionalitas memang, publik seakan berdiri sendiri memperjuangkan haknya dalam kebijakan yang dirasa non populis.

Keberpihakan partai politik yang sejatinya hadir untuk kepentingan publik, tak lagi tampak karena sifatnya yang private. Yakni hanya berkeadilan pada para kadernya semata. Tanpa ruang terbuka untuk tujuan yang lebih maslahat bagi publik.

Fakta inilah yang menjadikan cyberbullying di media digital semakin masif berkembang. Bahkan diantaranya banyak yang bermuara pada konflik antar kelompok atau golongan. Seakan tidak ada solusi yang dapat mengurainya menjadi area edukasi yang lebih baik.

Edukasi demokratisasi dalam segala ruang penyampaian pendapat. Baik secara terbuka atau melalui sosial media berbasis digital. Dengan pandangan keadilan dalam ruang kritik yang membangun dan edukatif.

Ilustrasi cyberbullying (sumber: dokpri/edited by canva)
Ilustrasi cyberbullying (sumber: dokpri/edited by canva)

Narasi-narasi cacat verbal yang kerap mengemuka pada ruang digital memang menjadi faktor utama demoralisasi demokrasi. Sebuah sudut pandang yang terkesan anti kritik dan memberi stigma negatif dari publik. Khususnya terhadap pembuat kebijakan publik.

Dalam hal ini adalah para legislator atau pemerintah, dengan membuka munculnya degradasi kepercayaan publik. Tak luput terhadap partai politik, yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan publik. Khususnya dalam ruang digital dalam konteks kritik.

Jika cyberbullying mengemuka menjadi common enemy, maka yang terjadi adalah hadirnya konflik digital. Sebuah hal yang sangat merugikan bagi kedaulatan negara, karena ruang digital dapat diakses secara luas oleh setiap individu dunia.

Baik dalam kepentingan pribadi, atau meluas kepada aksi spionase antar negara. Apalagi jika informasi data pribadi diekspose dalam unsur kepentingan politik. Sebuah kesalahan fatal yang dapat menjadi bumerang bagi kedaulatan bangsa dalam aspek politiknya.

Analisisnya adalah pendekatan sosial budaya, yang mengacu pada upaya pemenuhan tujuan dengan cara melakukan pertentangan, seperti ungkap Sarjono Soekanto. Walau topiknya adalah media sosial, sebagai bahan analisisnya. Apalagi jika berkaitan dengan wacana pemilu.

Ada semacam rahasia negara dalam aspek sosial politik yang tampak mengemuka di media digital. Dengan beragam wacana yang kontra produktif demi keberlangsungan demokrasi. Artinya dengan hadirnya kecenderungan lain dalam proyeksi negara bangsa.

Inilah yang menjadi asal muasal munculnya pandangan ideologis baru dalam menilai realitas kontemporer kebangsaan. Hadirnya aksi-aksi cyberbullying dengan kepentingan tertentu dalam orientasi politik sudah sepatutnya dapat dihindari kini.

Walau secara aksiologis masih mengalami proses reorientasi dalam pandangan yang lebih bersifat nasionalistik. Kiranya tulisan ini dapat mewakilinya. Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun