Kebangkitan "merangkak" sistem aristokrasi dalam realitas politik kontemporer menjadi tajuk yang secara analisis dapat mengemuka sejak gugatan perihal batasan usia sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Tak lain karena dianggap sebagai upaya meramaikan konstelasi pra pemilu 2024 mendatang. Khususnya perihal siapapun capres atau cawapres yang hendak diusung secara politis. Dimana beberapa partai menguraikannya sebagai bagian dari hak demokrasi.
Demokrasi yang sejatinya dapat memberi ruang terbuka bagi siapapun juga pada tiap gelaran pemilu. Namun, apakah hal itu berlaku bagi setiap warga negara yang memiliki hak-haknya dalam memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat?
Kiranya realitas politik saat ini masih belum mencapai proyeksi demokrasi yang konsisten positif. Berangkat dari berbagai faktor yang menjadi jembatan hadirnya kelompok-kelompok penguasa kebijakan. Baik dalam skala legal pemerintahan atau skala ormas.
Semua dapat dikatakan berperan dalam lahirnya budaya aristokrasi modern. Dimana kelas sosial yang tertinggi berperan penting dalam mengatur segala kebijakan berbasis kuasa. Kelas sosial inilah yang kemudian dianggap berwenang dalam mengatur sistem.
Tentunya sistem pemerintahan, dengan orientasi kapitalistik sesuai dengan konsep pragmatisnya secara politik. Bahkan bermunculan pula aristokrat-aristokrat minor yang memegang kendali sosial dengan mekanisme relasi kuasa.
Dalam area yang kerap bersinggungan secara langsung di ruang sosial masyarakat. Kategori memiliki privilege tinggi, sudah tentu punya kendali atas apapun dibawahnya. Tak terkecuali bagi masyarakat kecil, yang dikemukakan oleh Marx sebagai kelas proletar.
Jadi bukan hanya dalam area mayor dalam sistem pemerintahan yang luas. Pun demikian secara minor dalam locus sosial yang kerap memantik area konflik antar kelas. Teori konflik sosial ala Marx kiranya masih relevan dalam menguraikan realitas ini.
Secara mudah, dapat diuraikan sebagai pemerintahan diatur oleh sekelompok kaum bangsawan. Secara kelompok dan mekanis, serta berseberangan dengan upaya pemenuhan hak bagi kaum proletar. Walau secara kultur aristokrasi identik dengan budaya Indonesia.
Seperti ungkap Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial (2009), dimana status Raja dan bangsawan berada dalam posisi sentral. Namun unsur budaya dan kultur mengikatnya dalam fungsi yang positif dengan rakyatnya. Yakni saling melengkapi dan lebih adaptif.
Tetapi tak sama dalam ritus mekanis partai yang lebih eksklusif secara sosial. Dibandingkan sistem aristokrasi ala kerajaan, yang lebih terbuka dan akomodatif sesuai hak dan kewajibannya masing-masing. Inilah asal muasal terjadinya gap sosial secara politis.
Lantaran kebijakan politik hanya bersumber dari segelintir kelompok dengan kepentingannya masing-masing. Sedangkan posisi rakyat, hanya diposisikan sebagai penerima kewajiban mentaatinya.
Sebutlah beberapa hal yang berkaitan dengan keputusan kebijakan publik belakangan ini. Entah dalam Undang-Undang Omnibus Law ataupun Cipta Kerja, yang masih menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Semua tentu memiliki landasan analitiknya.
Tak terkecuali terhadap siapa saja dibalik penetapan rumusan kebijakan publik tersebut. Dalam hal ini, wajar jika kalangan buruh hingga kini masih merasa dirugikan. Dengan berbagai argumentasi yang menjadikannya sebagai kebijakan non populis.
Dimana dalam berbagai narasi disebutkan perihal sistem aristokrasi yang menjadi sumber muasalnya. Namun, hal itu belumlah dapat dijabarkan secara realistis seperti sesuai dengan fakta politis. Lantaran banyak intelektual yang turut terlibat dalam perumusannya.
Namun, analisis terkait sistem aristokrasi "merangkak" ini dapat menjadi ruang terbuka dalam koreksi kritisnya. Bangsawan kini tak melulu berasal dari kalangan kerajaan. Melainkan bagi kalangan atas, yang memiliki status sosial tinggi secara ekonomi dan politik.
Lantas, apakah perihal aristokrasi ini dapat terurai seiring demokratisasi yang makin mencerahkan? Kita belum juga dapat memberi proyeksinya secara final. Apalagi pada masa jelang pemilu digelar, dengan potensi sosial konflik yang mengemuka.
Semoga bermanfaat, sebagai bahan analisis bersama. Salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H