Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Analisis Bangkitnya Aristokrasi Politik

13 Agustus 2023   06:00 Diperbarui: 16 Agustus 2023   04:40 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aristokrasi (sumber: britannica.com via kompas.com)

Kebangkitan "merangkak" sistem aristokrasi dalam realitas politik kontemporer menjadi tajuk yang secara analisis dapat mengemuka sejak gugatan perihal batasan usia sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Tak lain karena dianggap sebagai upaya meramaikan konstelasi pra pemilu 2024 mendatang. Khususnya perihal siapapun capres atau cawapres yang hendak diusung secara politis. Dimana beberapa partai menguraikannya sebagai bagian dari hak demokrasi.

Demokrasi yang sejatinya dapat memberi ruang terbuka bagi siapapun juga pada tiap gelaran pemilu. Namun, apakah hal itu berlaku bagi setiap warga negara yang memiliki hak-haknya dalam memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat?

Kiranya realitas politik saat ini masih belum mencapai proyeksi demokrasi yang konsisten positif. Berangkat dari berbagai faktor yang menjadi jembatan hadirnya kelompok-kelompok penguasa kebijakan. Baik dalam skala legal pemerintahan atau skala ormas.

Semua dapat dikatakan berperan dalam lahirnya budaya aristokrasi modern. Dimana kelas sosial yang tertinggi berperan penting dalam mengatur segala kebijakan berbasis kuasa. Kelas sosial inilah yang kemudian dianggap berwenang dalam mengatur sistem.

Tentunya sistem pemerintahan, dengan orientasi kapitalistik sesuai dengan konsep pragmatisnya secara politik. Bahkan bermunculan pula aristokrat-aristokrat minor yang memegang kendali sosial dengan mekanisme relasi kuasa.

Dalam area yang kerap bersinggungan secara langsung di ruang sosial masyarakat. Kategori memiliki privilege tinggi, sudah tentu punya kendali atas apapun dibawahnya. Tak terkecuali bagi masyarakat kecil, yang dikemukakan oleh Marx sebagai kelas proletar.

Jadi bukan hanya dalam area mayor dalam sistem pemerintahan yang luas. Pun demikian secara minor dalam locus sosial yang kerap memantik area konflik antar kelas. Teori konflik sosial ala Marx kiranya masih relevan dalam menguraikan realitas ini.

Secara mudah, dapat diuraikan sebagai pemerintahan diatur oleh sekelompok kaum bangsawan. Secara kelompok dan mekanis, serta berseberangan dengan upaya pemenuhan hak bagi kaum proletar. Walau secara kultur aristokrasi identik dengan budaya Indonesia.

Seperti ungkap Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial (2009), dimana status Raja dan bangsawan berada dalam posisi sentral. Namun unsur budaya dan kultur mengikatnya dalam fungsi yang positif dengan rakyatnya. Yakni saling melengkapi dan lebih adaptif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun