Tetapi tak sama dalam ritus mekanis partai yang lebih eksklusif secara sosial. Dibandingkan sistem aristokrasi ala kerajaan, yang lebih terbuka dan akomodatif sesuai hak dan kewajibannya masing-masing. Inilah asal muasal terjadinya gap sosial secara politis.
Lantaran kebijakan politik hanya bersumber dari segelintir kelompok dengan kepentingannya masing-masing. Sedangkan posisi rakyat, hanya diposisikan sebagai penerima kewajiban mentaatinya.
Sebutlah beberapa hal yang berkaitan dengan keputusan kebijakan publik belakangan ini. Entah dalam Undang-Undang Omnibus Law ataupun Cipta Kerja, yang masih menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Semua tentu memiliki landasan analitiknya.
Tak terkecuali terhadap siapa saja dibalik penetapan rumusan kebijakan publik tersebut. Dalam hal ini, wajar jika kalangan buruh hingga kini masih merasa dirugikan. Dengan berbagai argumentasi yang menjadikannya sebagai kebijakan non populis.
Dimana dalam berbagai narasi disebutkan perihal sistem aristokrasi yang menjadi sumber muasalnya. Namun, hal itu belumlah dapat dijabarkan secara realistis seperti sesuai dengan fakta politis. Lantaran banyak intelektual yang turut terlibat dalam perumusannya.
Namun, analisis terkait sistem aristokrasi "merangkak" ini dapat menjadi ruang terbuka dalam koreksi kritisnya. Bangsawan kini tak melulu berasal dari kalangan kerajaan. Melainkan bagi kalangan atas, yang memiliki status sosial tinggi secara ekonomi dan politik.
Lantas, apakah perihal aristokrasi ini dapat terurai seiring demokratisasi yang makin mencerahkan? Kita belum juga dapat memberi proyeksinya secara final. Apalagi pada masa jelang pemilu digelar, dengan potensi sosial konflik yang mengemuka.
Semoga bermanfaat, sebagai bahan analisis bersama. Salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H