Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Egalitarianisme Politik Dalam Perspektif Sejarah

27 Juli 2023   05:45 Diperbarui: 27 Juli 2023   05:47 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi egalitarianisme (sumber: dokpri/edited by canva)

Mengenal egalitarian, sama halnya dengan memahami ruang terbuka bagi kesetaraan terhadap semua individu. Dalam hal ini adalah individu yang terlibat pada perilaku sosial kontemporer.

Baik dalam skala mikro hingga makro, yang diartikulasikan dalam locus keluarga hingga area berbangsa dan bernegara. Area makro inilah yang kiranya dapat dianggap sebagai ruang politis bagi setiap individu.

Selain dari persoalan hak dan kewajiban melalui berbagai pendekatan kausalistik. Dengan persepsi kebutuhan atas hadirnya berbagai kebijakan yang dirasa perlu dan sesuai bagi setiap individu yang lebih luas (masyarakat).

Kebijakan melalui berbagai fasilitas publik dan pemenuhan hak politik, guna demokratisasi positif terhadap setiap warga negara. Tak lain demi terciptanya pola hidup berbangsa dan bernegara secara adil dan merata.

Hal ini tentu sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28, yang menjelaskan mengenai kebebasan berserikat dan berkumpul. Dengan orientasi kebijakan politik yang berkaitan dengan Pasal 33 mengenai pemenuhan hajat hidup orang banyak.

Kontrol kebijakan yang seharusnya berlaku bagi setiap individu ini, realitanya tidak dapat diwujudkan secara egaliter. Lantaran setiap upaya pemenuhan hak dan kewajiban, melalui pendekatan politis selalu dianggap sebagai area oposisi yang saling bertentangan.

Perspektif yang sebenarnya menjadi pijakan lahirnya sistem politik otokrasi tanpa ada ruang check and balance secara positif. Dalam pendekatan lainnya, ada yang mengemukakan sebagai area private bagi politik oligarkisme.

Ketiadaan ruang terbuka bagi egalitarianisme dalam ruang politik publik, tentu menjadi cikal bakal hadirnya kelompok-kelompok anti politik. Sikap apatis yang mengemuka menjadi perilaku yang dapat membuat terjadinya demoralisasi demokratisasi.

Seperti ungkap Arneson Richard (2002), yang menjelaskan bahwa status semua orang adalah sama dalam status nilai atau moralnya. Khususnya dalam ruang politik partisipatoris melalui kontrol terhadap perilaku kuasa (pemerintahan).

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, hal ini sempat mengemuka kala masa kebangkitan nasional terjadi. Ruang politik mulai diapresiasi dalam bentuk kehadiran berbagai organisasi sosial hingga partai politik.

Walau tidak dapat memberi tekanan secara penuh terhadap sistem pemerintahan kolonial, setidaknya mampu mewadahi hak-hak politik bagi setiap individu kala itu. Selain dari mewaspadai gejolak sosial yang timbul dengan berbagai bentuk perlawanan sepihak.

Sebuah realitas politik yang semakin menguat kala Indonesia memasuki era transisi (kemerdekaan). Secara historis, Ben Anderson (2018), mendeskripsikannya sebagai era kebangkitan para pemuda Indonesia. Melalui berbagai organisasi sosial politik yang ada.

Pun dengan eksistensi dari kelompok militer, yang memiliki peran penting dalam menjaga konstelasi politik secara konsisten. Dari masa revolusi hingga Orde Lama, yang selalu termanifestasikan melalui kebijakan politis disertai dukungan milisi dibelakangnya.

Maka selama itulah egalitarianisme politis dianggap tidak akan mampu terwujud dengan baik. Sebagaimana harapan Bung Hatta, dalam merepresentasikan demokrasi sosial sesuai dengan kaidahnya, yakni kedaulatan demi kesejahteraan berada di tangan rakyat.

Pun demikian kala Orde Baru berkuasa, dengan memberi kebijakan penuh bagi militer untuk terlibat dalam ruang politik. Dimana hak politik individu dan kelompok tidak terakomodasi dengan baik, bagi setiap upaya pemenuhan praktik berdemokrasi.

Semua kegiatan yang berkonotasi "menentang" kebijakan kala itu, akan dianggap sebagai tindakan subversif. Alhasil, muncullah solidaritas sosial, hingga memasuki era reformasi 98. Dengan orientasi egalitarianisme politik yang menjadi tajuk pembukanya.

Namun, bagaimana realita yang berkembang pasca reformasi? Ada semacam pergeseran makna egalitarian politik dengan narasi dominasi oligarki. Lantaran tidak adanya kebijakan check and balance dalam area sosialisasi publik yang partisipan.

Walau bersifat tendensius, kiranya persoalan ini mengemuka dengan berbagai kebijakan publik yang marak diperbincangkan dewasa ini. Tak luput dengan peran serta pemerintah bersama aparatur negara, yang seakan menegasikan politik egalitarianis.

Bukan soal bagaimana demokratisasi dapat direalisasikan sejalan dengan kepentingan publik. Melainkan terjebak dalam area politik melalui sekat antar partai yang bersinggungan satu dengan lainnya. Tanpa memberi argumentasi edukasi politik secara positif.

Inilah kiranya catatan yang menjadi rentang historiografis politik yang multi perspektif. Tergantung bagaimana kita menilainya secara objektif, tanpa ada tendensi justifikasi ataupun sikap pragmatisnya. Khususnya kala gelaran pemilu tiba.

Semoga bermanfaat, salam damai dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun