Walau tidak dapat memberi tekanan secara penuh terhadap sistem pemerintahan kolonial, setidaknya mampu mewadahi hak-hak politik bagi setiap individu kala itu. Selain dari mewaspadai gejolak sosial yang timbul dengan berbagai bentuk perlawanan sepihak.
Sebuah realitas politik yang semakin menguat kala Indonesia memasuki era transisi (kemerdekaan). Secara historis, Ben Anderson (2018), mendeskripsikannya sebagai era kebangkitan para pemuda Indonesia. Melalui berbagai organisasi sosial politik yang ada.
Pun dengan eksistensi dari kelompok militer, yang memiliki peran penting dalam menjaga konstelasi politik secara konsisten. Dari masa revolusi hingga Orde Lama, yang selalu termanifestasikan melalui kebijakan politis disertai dukungan milisi dibelakangnya.
Maka selama itulah egalitarianisme politis dianggap tidak akan mampu terwujud dengan baik. Sebagaimana harapan Bung Hatta, dalam merepresentasikan demokrasi sosial sesuai dengan kaidahnya, yakni kedaulatan demi kesejahteraan berada di tangan rakyat.
Pun demikian kala Orde Baru berkuasa, dengan memberi kebijakan penuh bagi militer untuk terlibat dalam ruang politik. Dimana hak politik individu dan kelompok tidak terakomodasi dengan baik, bagi setiap upaya pemenuhan praktik berdemokrasi.
Semua kegiatan yang berkonotasi "menentang" kebijakan kala itu, akan dianggap sebagai tindakan subversif. Alhasil, muncullah solidaritas sosial, hingga memasuki era reformasi 98. Dengan orientasi egalitarianisme politik yang menjadi tajuk pembukanya.
Namun, bagaimana realita yang berkembang pasca reformasi? Ada semacam pergeseran makna egalitarian politik dengan narasi dominasi oligarki. Lantaran tidak adanya kebijakan check and balance dalam area sosialisasi publik yang partisipan.
Walau bersifat tendensius, kiranya persoalan ini mengemuka dengan berbagai kebijakan publik yang marak diperbincangkan dewasa ini. Tak luput dengan peran serta pemerintah bersama aparatur negara, yang seakan menegasikan politik egalitarianis.
Bukan soal bagaimana demokratisasi dapat direalisasikan sejalan dengan kepentingan publik. Melainkan terjebak dalam area politik melalui sekat antar partai yang bersinggungan satu dengan lainnya. Tanpa memberi argumentasi edukasi politik secara positif.
Inilah kiranya catatan yang menjadi rentang historiografis politik yang multi perspektif. Tergantung bagaimana kita menilainya secara objektif, tanpa ada tendensi justifikasi ataupun sikap pragmatisnya. Khususnya kala gelaran pemilu tiba.
Semoga bermanfaat, salam damai dan terima kasih.