Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

PDIP Meradang, Budiman Sudjatmiko Tenang

22 Juli 2023   05:45 Diperbarui: 22 Juli 2023   06:00 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Budiman Sudjatmiko kala menemui Prabowo Subianto, dinilai beberapa kalangan sebagai manuver politik "perlawanan". Artinya bahwa, Budiman Sujatmiko sebagai kader PDIP, telah membuat kegiatan yang dianggap telah merugikan kubu Ganjar Pranowo.

Apalagi PDIP sudah menetapkan Ganjar Pranowo sebagai kandidat capresnya. Bukan semata-mata dalam keputusan politis sepihak. Melainkan dari berbagai dukungan yang melalui sistem organisasi telah dilakukan para kader PDIP.

Dalam hal ini, kiranya persoalan dukungan Presiden Jokowi terhadap Ganjar Pranowo tidak sepenuhnya terjadi. Lantaran pada beberapa kesempatan publik, Presiden Jokowi lebih memilih mendokumentasikan kegiatannya bersama Prabowo Subianto.

Inilah kiranya yang menjadi alasan menguatnya elektabilitas Prabowo Subianto beberapa waktu ini. Apalagi ditambah "dukungan" dari kader PDIP, seperti Budiman Sudjatmiko. Atau ketika Kaesang Pangarep, melakukan pertemuan bersama Prabowo, beberapa waktu lalu.

Inilah fenomena politik yang unik dan menarik untuk disimak. Sikap cawe-cawe Presiden ditunjukkan pada eksistensinya melalui sisi lain media massa. Dimana yang secara konsisten menarasikan betapa ambiguitasnya perkembangan politik belakangan ini.

Tak lain agar framing tercapai dalam persepsi publik terhadap pilihan Presiden Jokowi. Walaupun skema framing ini tidak secara umum dapat dikatakan kebenarannya. Sesuai dengan persepsi publik dalam menilai sikap Presiden secara realistis.

Apalagi banyak narasi negatif yang tertuju pada sikap Budiman Sudjatmiko. Jika kita melihat peristiwa pada pemilu sebelumnya, jelas kiranya posisi Budiman dalam melegitimasi pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh Prabowo selalu disosialisasikannya.

Narasi yang masih membuat kita bertanya-tanya, apakah Budiman tengah menjilat ludahnya sendiri? Atau dalam persoalan pragmatis politik, ada hasrat yang tidak tercapai atau tersampaikan. Semua tentu memiliki pandangannya masing-masing.

Tidak melulu dalam orientasi politis. Barangkali Budiman Sudjatmiko benar-benar memiliki rasa kagumnya kepada Prabowo? Atau mungkin hendak bergabung dengan Kolaisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bersama Gerindra, hanya Budiman yang tahu.

Walaupun secara resmi PDIP akan memanggil Budiman secara kepartaian, namun keputusannya bertemu dengan Prabowo ditanggapi dengan tenang. Budiman tentu paham, bagaimana para simpatisannya, akan tetap memberi dukungan terhadapnya.

Apalagi yang pernah terlibat langsung bersamanya kala Reformasi 1998 terjadi. Baik dalam prosesnya, ataupun berbagai insiden yang terjadi pada perjalanannya. Publik tentu selalu ingat, bagaimana posisi Budiman dan Prabowo kala itu.

Tak luput dari sikap reaksioner, yang berujung pada penangkapan Budiman bersama teman-teman seperjuangannya di PRD. Khusus pada peristiwa 27 Juli 1996, dimana kala itu aparat memvonisnya sebagai salah satu provokatornya dan pelakunya.

Walau rona Reformasi saat ini tidak lagi menunjukkan identitasnya, berbagai peristiwa dan generasi yang terlibat pada masanya, tentu tahu siapa dan bagaimana realita politik kala itu. Terkait dengan eksistensi PDIP sebagai salah satu partai besar kini.

Bukan sekedar memberi kesan politik yang negatif dalam pandangan PDIP. Sikap Budiman, tentu akan dicap sebagai kolaborator politik yang dapat merugikan partai. Baik secara internal, atau optimalisasi gerak politik para pendukung Ganjar Pranowo.

Kiranya publik pun tidak akan mengetahui secara pasti, apa yang menjadi deal antara Budiman dengan Prabowo. Kehadiran Budiman, akan tetap dianggap penuh nuansa politis dengan berbagai kepentingannya. Bukan sekedar lawatan pribadi semata.

Bahkan, beberapa aktivis eksponen 1998 pun memberi sindiran menohok pada Budiman. Sikap tidak konsistennya dianggap sebagai perilaku menyimpang dalam perspektif politik yang hitam putih. Baik dalam narasi mencari cuan, atau bahkan jabatan.

Jika seandainya Prabowo Subianto memenangi pemilu tahun 2024 mendatang. Entah ini merupakan ironi seorang mantan aktivis, atau memang sekedar naluri pragmatis, sekali lagi kita bebas mempersepsikannya. Kita lihat saja bagaimana sikap dan keputusan PDIP secara partai terhadap persoalan ini.

Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun