Apalagi yang pernah terlibat langsung bersamanya kala Reformasi 1998 terjadi. Baik dalam prosesnya, ataupun berbagai insiden yang terjadi pada perjalanannya. Publik tentu selalu ingat, bagaimana posisi Budiman dan Prabowo kala itu.
Tak luput dari sikap reaksioner, yang berujung pada penangkapan Budiman bersama teman-teman seperjuangannya di PRD. Khusus pada peristiwa 27 Juli 1996, dimana kala itu aparat memvonisnya sebagai salah satu provokatornya dan pelakunya.
Walau rona Reformasi saat ini tidak lagi menunjukkan identitasnya, berbagai peristiwa dan generasi yang terlibat pada masanya, tentu tahu siapa dan bagaimana realita politik kala itu. Terkait dengan eksistensi PDIP sebagai salah satu partai besar kini.
Bukan sekedar memberi kesan politik yang negatif dalam pandangan PDIP. Sikap Budiman, tentu akan dicap sebagai kolaborator politik yang dapat merugikan partai. Baik secara internal, atau optimalisasi gerak politik para pendukung Ganjar Pranowo.
Kiranya publik pun tidak akan mengetahui secara pasti, apa yang menjadi deal antara Budiman dengan Prabowo. Kehadiran Budiman, akan tetap dianggap penuh nuansa politis dengan berbagai kepentingannya. Bukan sekedar lawatan pribadi semata.
Bahkan, beberapa aktivis eksponen 1998 pun memberi sindiran menohok pada Budiman. Sikap tidak konsistennya dianggap sebagai perilaku menyimpang dalam perspektif politik yang hitam putih. Baik dalam narasi mencari cuan, atau bahkan jabatan.
Jika seandainya Prabowo Subianto memenangi pemilu tahun 2024 mendatang. Entah ini merupakan ironi seorang mantan aktivis, atau memang sekedar naluri pragmatis, sekali lagi kita bebas mempersepsikannya. Kita lihat saja bagaimana sikap dan keputusan PDIP secara partai terhadap persoalan ini.
Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H