Analisis ini kiranya menjadi wacana besar pada gelaran pemilu nanti. Khususnya jika seandainya pemilihan akan dilaksanakan dua putaran. Hal ini dapat dikemukakan melalui persepsi politik antar partai pengusung yang tampak saling memiliki kesamaan tujuan.
Tidak menutup kemungkinan, karena semakin terbukanya komunikasi politik yang ada, maka peluang Prabowo Subianto untuk dapat bersanding dengan Anies Baswedan pun dapat saja terjadi. Atau dalam posisi sebaliknya, tergantung konstelasi politik yang ada.
Bahkan dikatakan pula, posisi Ganjar Pranowo dapat turut berkolaborasi antar pasangan capres yang ada. Sebelum penetapan para kandidat ditetapkan oleh KPU, 19 Oktober mendatang. Namun, duet Prabowo dan Anies adalah sosok yang ramai diperbincangkan.
Tentu dengan melihat peluang dari elektabilitas masing-masing kandidat yang makin bersaing. Atau dengan upaya meminimalisir terjadinya pemilu dua putaran. Dengan menetapkan masing-masing kandidat dalam calon kepemimpinan bersama.
Apalagi hingga kini masing-masing kandidat belum juga menentukan siapa tokoh yang digadang-gadang sebagai cawapresnya. Ini tentu suatu hal yang menarik, dan patut disimak. Lain soal dengan faktor dukungan politik lintas kader partai, yang marak terjadi.
Jika dilihat dari elektabilitas partai-partai pengusungnya, sudah barang tentu dapat dengan telak mengalahkan koalisi yang dibangun oleh setiap partai pengusung. Dalam hal ini, tentu akan dapat dianalisis melalui pendekatan kalkulatif dari para konstituen.
Walau masih bersifat subjektif, tak sedikit para konstituen mewacanakan persatuan antara Prabowo dengan Anies Baswedan. Sebuah hal yang kiranya berat terealisasi, namun membuka harapan bagi model koalisi besar dengan proyeksi demokratisasi.
Selain untuk meminimalisir hadirnya kelompok-kelompok yang dapat tersekat secara politik. Harapan koalisi ini dapat mengemuka sebagai simbol alternatif dalam tujuan bertema persatuan.
Dimana publik secara cermat memberi penilaian negatif, terhadap sekat politik yang kerap terjadi kala pemilu berlangsung. Baik sikap pro atau kontra yang terjadi dalam berbagai ruang, dan dapat membuat persepsi publik makin apatis terhadap kegiatan politik.
Walaupun pada akhirnya akan menghasilkan kelompok oposisi yang jadi penyeimbang kekuasaan. Ini merupakan hal yang lazim dalam sistem demokrasi. Dengan memberi makna positif, sebagai area kontrol terhadap koalisi yang terbangun.
Wacana kolaborasi antara Prabowo Subianto bersama Anies Baswedan, tidak sekedar upaya penyatuan dua kekuatan besar partai politik pendukungnya. Melainkan antar partai yang berada dibelakang kedua kandidat tersebut.
Proyeksi besar dalam narasi membangun bangsa secara baik, dengan meminimalisir ruang konflik, dapat menjadi opsi penting kini. Kita sadari bahwa, dalam beberapa tahun belakangan narasi konflik kepentingan selalu mewarnai pemerintahan yang berjalan.
Tak luput dengan berbagai polemik kenegaraan yang ada. Baik dalam persepsi positif atau negatif, tergantung sudut pandang publik dalam memberi penilaiannya.
Kiranya, para tim pemenangan Prabowo Subianto, Anies Baswedan, ataupun Ganjar Pranowo, memiliki strateginya masing-masing. Entah dalam membuat wacana alternatif, ataupun sekedar memainkan elektabilitas di ruang publik secara terbuka.
Tentu demi tujuan yang dapat memainkan animo publik terhadap pilihan yang hendak diberikan. Bukan justru melihat dari visi atau misi setiap kandidat yang maju sebagai kontestan. Apalagi di era digital saat ini, dengan kemudahan penyampaian informasi politik.
Koalisi dapat saja terjadi, jika ada unsur-unsur tertentu yang dapat menjadi "klik" penyambungnya. Keberpihakan sosial tentu dapat dijadikan modal utama dalam membangun persepsi publik secara positif. Tanpa ada kampanye hitam yang bersifat negatif.
Semoga bermanfaat, salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H