Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dispersepsi Mengenai Mitigasi Bencana

13 Juli 2023   05:45 Diperbarui: 13 Juli 2023   05:57 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membersamai anak-anak penyintas gempa Cianjur beberapa waktu silam (sumber: dokpri)

Kiranya kita sama-sama memahami, bahwa Indonesia merupakan salah satu negara rawan gempa. Tak lain karena letak georafisnya yang berada dalam area pertemuan tiga lempeng dunia. Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia, atau berada di lingkar ring of fire kawasan Pasifik. Maka, dapat dikatakan bahwa, bangsa Indonesia kiranya sudah paham bagaimana kala menghadapi sebuah bencana.

Baik gempa bumi, ataupun tsunami, yang kerap dikatakan sebagai bencana dahsyat dan tak lepas dari sejarah berdirinya bangsa ini. Pun dengan masyarakatnya, yang memiliki kesadaran tinggi dalam mengantisipasi terjadinya sebuah bencana. Namun, apakah hal itu dapat dikatakan sebagai bentuk mitigasi bencana alami? Secara naluriah dapat dikatakan benar, namun secara ilmiah tentu salah.

Hal ini dapat dinilai dari kurangnya kesadaran masyarakat terhadap area rawan bencana. Seperti area hutan lindung, tebing, atau lereng bukit, dengan potensi kesadaran dan pemahaman terhadap lingkungan kurang. Lantaran justru area rawan tersebut kerap dijadikan ruang tempat tinggal yang justru membahayakan nyawa manusia, jika sewaktu-waktu terjadi bencana.

Dalam hal ini tentu dapat dikaitkan dengan kebijakan publik yang menjadi wewenang penuh pemerintah daerah maupun kota/desa. Tindak lanjut yang humanis tentu menjadi upaya penting dalam membangun kesadaran mitigasi secara positif. Dengan meniadakan narasi negatif, yang justru kerap menuai pertentangan dari masyarakat.

Apalagi jika berkaitan dengan hajat hidup seseorang di kawasan tersebut. Semisal, petani penggarap lahan/sawah di area perbukitan yang rawan longsor. Ataupun nelayan, yang menggantungkan hidupnya melalui lautan, dengan tanpa adanya pemahaman terkait bahaya tsunami serta antisipasinya. Semua aspek tersebut tentu berkaitan dengan persoalan mitigasi bencana.

Walau di beberapa daerah pesisir disebutkan telah ada lokasi-lokasi penyelamatan diri, yang dibangun sejak dulu, demi menghindari sebuah bencana alam. Seperti di area Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, sebagai lokasi perlindungan alam dari bahaya tsunami. Namun, hal tersebut kiranya tidak berlaku sama dengan daerah lain secara menyeluruh.

Area perbukitan ataupun pesisir dapat dikategorikan sebagai daerah rawan yang kerap memakan korban jiwa. Seperti yang penulis alami kala memberi pendampingan bagi korban gempa bumi di Cianjur beberapa waktu lalu. Persoalan mitigasi bencana seringkali dipahami sebagai hal yang tidak prioritas oleh masyarakat.

Hal itu terbukti dengan banyaknya area bukit/tebing yang dijadikan lokasi pemenuhan kebutuhan ekonomi. Selain dari persoalan aksesbilitas masyarakat yang dikatakan kurang baik, kala menghadapi bencana. Sebutlah persoalan jalan akses dan area terbuka, sebagai sarana utama dalam mengurangi resiko terjadinya banyak korban.

Jadi dalam hal ini, aksesbilitas adalah hal utama dalam mengurangi resiko paling baik. Semisal di area pantai barat Banten. Baik jalan utama Anyer hingga Labuhan, yang dapat dikatakan kurang baik (lebar) dari segi proporsi jalan penghubung. Persoalan pemenuhan kebutuhan dalam hal ini tentunya ada dalam kebijakan pemerintah setempat.

Kita tentu ingat bagaimana tsunami yang terjadi di Banten beberapa tahun lalu membuat kawasan Sumur menjadi area terisolir dan sulit ditembus. Belum lagi wilayah barat Banten banyak lokasi wisata yang kerap membuat pengunjungnya memadat di ruas jalan utama.

Perihal dispersepsi yang kerap terjadi mengenai mitigasi bencana, antara masyarakat dengan pemerintah tentu membuat situasi tampak chaos kala terjadi bencana. Terlebih karena kekurangpahaman masyarakat terkait bagaimana cara mendapatkan akses keselamatan diri dan harta bendanya. Dispersepsi ini kiranya juga berangkat dari persoalan komunikasi.

Belum lagi jika para relawan yang datang terlibat, tidak memahami aturan yang berlaku kala bencana. Ataupun dalam mekanisme yang berkaitan dengan penanganan korban, tanpa ada ruang terbuka untuk saling berkoordinasi.

Dalam arti, kurang ada sosialisasi secara berkelanjutan dari pihak terkait untuk memberi kesadaran perihal mitigasi bencana. Pun dengan upaya pembangunan infrastruktur area/lokasi aman, yang harusnya tetap menjadi agenda utama pengatur kebijakan. Semua pihak kiranya dapat satu pemahaman bersama, terkait persoalan ini.

Bukan dalam arti mempersoalkan apa yang telah diupayakan secara sistemik. Melainkan sebatas kritik terhadap kebijakan yang dapat dilihat dari realitas pada beberapa daerah yang telah disebut. Tujuannya tidak lain demi mengurangi dampak negatif dan upaya penanggulangan bencana dengan baik dan saling terkoordinasi.

Agar antara pemerintah daerah beserta BNPB dapat saling bersinergi bersama masyarakat. Demi mengurangi jatuhnya banyak korban sebagai akibat dari dispersepsi dalam mitigasi bencana di lapangan. Terlebih jika lokasi bencana justru berkembang menjadi area wisata bencana, yang kerap membuka ruang dispersepsi semakin mengemuka.

Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun