Kesamaan atas hak berpolitik inilah yang jadi muasal lahirnya demokrasi, bukan justru dihilangkan pada pandangan tertentu. Apalagi jika dalam area kampanye, yang sering pula menerapkan politik identitasnya.Â
Bukanlah hal yang mustahil, dalam membuat suatu kebijakan politis kerap seorang pemimpin akan memilih sosok yang berlatar belakang sama, untuk membuat keputusan.
Apalagi jika berasal dari suku dan daerah yang sama, tentu hal ini akan menjadi penghambat bagi kelompok lain yang hendak sama-sama terlibat dalam politik praktis.Â
Jika dalam area politik partisan, hal ini tentu dapat menjadi penghambat dalam gerak politis sebuah partai. Artinya, secara sadar para anggota partai akan memaknainya sebagai bentuk pembatasan diri.
Kita dapat lihat bagaimana realitas politik saat ini, banyak yang cenderung mempraktikkan politik etnosentris sebagai kebijakan utama dari sebuah partai.Â
Bukan dinilai dari kompetensi kader, yang sekiranya potensial dengan berbagai terobosannya. Ataupun dalam upaya merealisasikan suatu Undang-Undang potensial bagi kepentingan rakyat dan bangsa.
Namun faktanya, "semua keputusan kembali kepada Ketua". Inilah kiranya mengapa beberapa Undang-Undang yang potensial, justru harus terhambat pada keputusan seorang ketua umum partai.Â
Para legislator pengemban amanat suara rakyat, dikatakan sudah tidak lagi fokus pada pemenuhan hak rakyat untuk mendapatkan keadilan politisnya.
Uniknya, dalam lingkaran elite politik, justru praktik etnosentrisme semakin menguat. Bukan tidak memungkinkan, jika kader politik pun turut melakukan praktik serupa.Â
Politik identitas yang mengakar dari atas hingga grass root, yang biasanya juga menjadi peluang bagi upaya meraih dukungan rakyat. Lantaran menganggap memiliki kesamaan budaya, ataupun berangkat dari rasa kesukuan.