Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sulitnya Mendapatkan Sekolah Anak yang Sesuai Harapan

3 Juli 2023   05:45 Diperbarui: 11 Juli 2023   23:08 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekolah (sumber: dokpri/arsip)

Setiap orang tua tentu menginginkan sekolah yang terbaik untuk anak-anaknya. Apalagi kala gelaran tahun ajaran baru, yang identik dengan ritus PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) di setiap daerah. 

Tak hanya untuk tingkat SD, pun demikian dengan tingkat SMP dan SMA/SMK. Terlebih dengan adanya aturan zonasi, yang kerap membuat orang tua "ketar ketir" ketika mendaftarkan anaknya.

Hal tersebut lumrah terjadi, karena dalam aturan zonasi, sekolah akan memprioritaskan calon anak didik dari lingkungan sekitarnya. Tak lain guna memberi kemudahan akses bagi terselenggaranya pendidikan yang lebih baik. Tepatnya, perhitungan jarak yang sesuai alamat yang tertera dalam Kartu Keluarga, dengan sekolah tujuannya.

Namun, terkadang aturan zonasi ini kerap membuat orang tua siswa kewalahan, lantaran jumlah kursi yang terbatas pada setiap sekolah. Dalam hal ini adalah sekolah negeri, yang kita sadari tidak selalu ada di setiap wilayah. Apalagi jika jenjang untuk SMP dan SMA/SMK, yang biasanya hanya terdapat di lokasi tertentu saja.

Seperti ketika penulis mampir ke Desa Medalsari, Kec. Pangkalan, Kab. Karawang. Anak-anak Desa Medalsari usia sekolah menengah atas, harus menempuh jarak sekitar 11,5 km untuk menuju sekolah terdekatnya, yakni SMA Negeri 1 Pangkalan. Selain itu, alternatif lainnya yakni dengan jarak sekitar 9,5 km untuk anak-anak yang sekolah di SMA ataupun SMK Negeri 1 Cariu.

Kita dapat pahami, bagaimana harapan orang tua untuk dapat menyekolahkan anaknya, justru terkendala dengan jarak. Apalagi kala aturan zonasi diberlakukan secara sistemik. Jauhnya jarak domisili, tentu saja secara otomatis membuat calon peserta didik gugur dengan sendirinya. Apalagi bagi yang berdomisili jauh dari lokasi sekolah.

Selain aturan zonasi yang hanya memiliki kuota sebanyak 50 persen dari jumlah daya tampung sekolah. Sedangkan 25 persen lainnya diambil dari jalur prestasi, dan sisanya tergantung dengan kebijakan sekolah masing-masing. Sedangkan, tidak semua orang tua siswa memahami perihal aturan tersebut secara detail. Ini adalah realitas PPDB yang memang ditemui di Kab. Karawang.

Mungkin di beberapa daerah lain, masalah jarak masih menjadi kendala utama dalam mendapatkan pendidikan. Belum lagi jumlah kursi yang terbatas, dimana opsi alternatifnya adalah dengan memilih sekolah swasta. Nah, dalam ritus masa PPDB ini, para orang tua kiranya tetap menghendaki sekolah yang terbaik untuk anak-anaknya. Pun demikian untuk tingkat SD ataupun SMP.

Kalau di kota besar, mungkin perbedaan fasilitas sekolah negeri ataupun swasta masih dapat dikatakan saling bersaing. Namun, di beberapa daerah, tidak semua sekolah telah memiliki fasilitas pendidikan yang dapat dikatakan baik. Misal, di Karawang sendiri per tahun 2022, diketahui masih banyak diketemukan sekolah SD dan SMP yang kurang layak guna.

Sesuai data BPS, disebutkan bahwa ada sekitar 162 ruang kelas SD di Karawang dalam kondisi tidak baik. Sedangkan untuk tingkat SMP, ada sekitar 78 bangunan yang masih dalam upaya perbaikan. Selain itu, untuk tingkat SMA/SMK disebutkan masih minim dalam fasilitas penunjang pembelajaran di sekolah.

Bersama anak-anak kala peresmian rumah baca di Kab. Karawang (sumber: dokpri/arsip)
Bersama anak-anak kala peresmian rumah baca di Kab. Karawang (sumber: dokpri/arsip)

Jika ukurannya adalah area kota, sebagai dasar keberhasilan kebijakan, tentu hal ini tidak fair adanya. Sulitnya aksesibilitas dalam mendapatkan sekolah layak bagi anak, secara mayor justru banyak diketemukan di daerah luar kota. Seperti ketika anak SMA yang berdomisili di kawasan Pulau Merah, Banyuwangi, harus menempuh jarak sejauh 13 km untuk dapat sekolah di SMA 1 Pasanggaran.

Kiranya apa yang terjadi di Tulungagung dapat dijadikan telaah terkait penerapan sistem zonasi secara fleksibel. Yakni dengan cara memberi pilihan terbuka bagi para calon peserta didik di area Rejoagung untuk dapat memilih juga sekolah di area Kedungwaru. Jadi orang tua siswa dapat memperoleh akses sekolah dengan jarak terdekat, walau berbeda zonasi.

Dalam beberapa kasus (seperti di Tulungagung) memang, sistem zonasi yang ketat telah memberi implikasi negatif bagi orang tua. Lantaran ada sekolah terdekat, namun tidak dapat dipilih sebagai akibat dari perbedaan area. Belum lagi jika persoalan aksesbilitas orang tua dalam memahami mekanisme pendaftaran online. Dimana tidak semua orang tua siswa memahami alur digital tersebut.

Inilah kiranya, yang menjadi realitas secara faktual di masyarakat. Harapan orang tua untuk dapat menyekolahkan anaknya di negeri, memang menjadi target utama. Kaitannya memang dalam hal biaya pendidikan anak, selain dari persepsi terhadap fasilitas sekolah. Namun, terkadang, minimnya fasilitas sekolah, juga mempengaruhi para orang tua untuk memilih sekolah alternatif lainnya.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya (di Kab. Karawang) dalam hal fasilitas layak. Dimana pada akhirnya orang tua banyak memilih sekolah swasta yang dianggap lebih baik dan mampu bersaing, selain karena jaraknya yang dekat dengan domisilinya. Jadi dalam hal ini, kebutuhan peserta didik dapat terfasilitasi guna tercapainya hasil belajar yang optimal.

Hal tersebut serupa dengan apa yang terjadi di Campurdarat, Tulungagung. Para orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di madrasah, lantaran sekolah negeri (SD) dianggap tidak mampu berinovasi untuk dapat menjadi pilihan dari orang tua siswa. "Dari pada sulit dan terkesan merepotkan, mending milih sekolah yang pasti diterima saja", ungkap Bu Yana, yang sempat berkomunikasi via telepon kepada penulis.

Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun