Jika ukurannya adalah area kota, sebagai dasar keberhasilan kebijakan, tentu hal ini tidak fair adanya. Sulitnya aksesibilitas dalam mendapatkan sekolah layak bagi anak, secara mayor justru banyak diketemukan di daerah luar kota. Seperti ketika anak SMA yang berdomisili di kawasan Pulau Merah, Banyuwangi, harus menempuh jarak sejauh 13 km untuk dapat sekolah di SMA 1 Pasanggaran.
Kiranya apa yang terjadi di Tulungagung dapat dijadikan telaah terkait penerapan sistem zonasi secara fleksibel. Yakni dengan cara memberi pilihan terbuka bagi para calon peserta didik di area Rejoagung untuk dapat memilih juga sekolah di area Kedungwaru. Jadi orang tua siswa dapat memperoleh akses sekolah dengan jarak terdekat, walau berbeda zonasi.
Dalam beberapa kasus (seperti di Tulungagung) memang, sistem zonasi yang ketat telah memberi implikasi negatif bagi orang tua. Lantaran ada sekolah terdekat, namun tidak dapat dipilih sebagai akibat dari perbedaan area. Belum lagi jika persoalan aksesbilitas orang tua dalam memahami mekanisme pendaftaran online. Dimana tidak semua orang tua siswa memahami alur digital tersebut.
Inilah kiranya, yang menjadi realitas secara faktual di masyarakat. Harapan orang tua untuk dapat menyekolahkan anaknya di negeri, memang menjadi target utama. Kaitannya memang dalam hal biaya pendidikan anak, selain dari persepsi terhadap fasilitas sekolah. Namun, terkadang, minimnya fasilitas sekolah, juga mempengaruhi para orang tua untuk memilih sekolah alternatif lainnya.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya (di Kab. Karawang) dalam hal fasilitas layak. Dimana pada akhirnya orang tua banyak memilih sekolah swasta yang dianggap lebih baik dan mampu bersaing, selain karena jaraknya yang dekat dengan domisilinya. Jadi dalam hal ini, kebutuhan peserta didik dapat terfasilitasi guna tercapainya hasil belajar yang optimal.
Hal tersebut serupa dengan apa yang terjadi di Campurdarat, Tulungagung. Para orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di madrasah, lantaran sekolah negeri (SD) dianggap tidak mampu berinovasi untuk dapat menjadi pilihan dari orang tua siswa. "Dari pada sulit dan terkesan merepotkan, mending milih sekolah yang pasti diterima saja", ungkap Bu Yana, yang sempat berkomunikasi via telepon kepada penulis.
Semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H