Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Fenomena Rangkap Jabatan Pejabat Publik

10 Juni 2023   05:30 Diperbarui: 10 Juni 2023   07:37 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rangkap jabatan (sumber: kelik hukum via aktiva.news)

Fenomena rangkap jabatan yang mengemuka memang sontak membuat publik bertanya perihal keabsahan secara legal hukumnya. Apalagi jika rangkap jabatan dipegang oleh seorang pejabat Pemerintah yang kerap bersinggungan dengan kebijakan publik. Apalagi dalam lingkungan Kementerian Negara, yang menjadi "kepanjangan tangan" Pemerintah dalam menjalankan visi misinya.

Maka tidak heran jika kini rangkap jabatan dianggap sebagai bentuk upaya realisasi atas tugas dan wewenang dalam sebuah instansi. Jika masih dalam area yang sama, rangkap jabatan pun dianggap biasa terjadi. Misal sebagai Kemenkeu, Sri Mulyani juga menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, atau sebagai anggota pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga anggota BRIN.

Walau kita ketahui hal tersebut tidak dibenarkan oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dijelaskan lebih rinci pada Pasal 17, yang menegaskan bahwa; Pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah.

Tidak hanya di lingkungan Kemenkeu, yang pernah terdata hingga sebanyak 39 pejabat rangkap jabatan. Di Kementerian PUPR juga ada sekitar 5 pejabat yang memiliki jabatan ganda. Atau pada Kementerian lain yang kiranya sama membuat kebijakan serupa, sesuai dengan orientasinya merealisasikan program-program dalam tujuan tanggung jawab melalui kewenangannya.

Secara realistis, hal ini tentunya dapat membuat polarisasi kewenangan dan tanggung jawab yang tumpang tindih. Misal, tugas dan wewenang sebagai seorang pimpinan yang rangkap jabatan akan tampak sebuah regulasi kebijakan yang tidak transparan. Hal ini dapat dikaji melalui realisasi sebuah proyek atau kebijakan.

Seperti dalam pengadaan sebuah proyek strategis, dimana pimpinan tertinggi juga terdaftar sebagai anggota dari instansi dibawah lembaga utama. Hanya sekedar "mengetahui", maka proyek tersebut dapat terealisasi tanpa harus dikaji sesuai alur regulasi yang ada. Sama halnya dengan sistematika salary, yang akan didapat juga secara ganda, sebanyak jabatan yang dirangkapnya.

Dalam hal itu, kiranya kebijakan rangkap jabatan tersebut sama-sama terjadi dalam lingkungan lembaga eksekutif. Jadi kita dapat persepsikan secara positif dalam pengertian pengawasan tugas dan tanggung jawab secara langsung diawasi oleh pimpinan tertinggi. Dimana secara resmi Kemenkeu menjelaskan bahwa Sri Mulyani tidak mendapat salary dari rangkap jabatan yang diemban olehnya.

Ini sama halnya dengan Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan, yang memiliki beberapa jabatan lain selain sebagai Menko. Secara umum memang terlihat identik dengan Kementerian lainnya, dalam orientasi yang sama sebagai pengawas alur kebijakan dengan tujuan realisasi program Kementerian.

Lantas bagaimana dengan Pemerintah Daerah atau Provinsi dalam konteks rangkap jabatan?

Uniknya fenomena rangkap jabatan ini juga menjalar ke wilayah Pemerintah Provinsi ataupun Daerah. Seperti yang belakangan juga diketahui, bahwa banyak pejabat rangkap jabatan dengan wewenang fungsional lainnya. Seperti ada semacam oligarki jabatan publik dalam persepsi nepotisme. Apalagi terjadi hingga lintas lembaga, antara eksekutif dan yudikatif, seperti seorang pejabat dari Jambi.

Rangkap jabatan dengan tugas fungsional yang janggal tentunya, jika kita melihat realitas kewenangan dalam dua lembaga sekaligus. Semua berawal dari pelaporan Pemkot Jambi kepada seorang siswi SMP yang mengkritik kebijakan pemerintahnya, Gempa Awaljon Putera yang menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum Pemkot Jambi, dan sebagai Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Jambi.

Jadi jabatan ganda dalam statusnya sebagai bagian dari lembaga eksekutif secara praktis dilegitimasi sebagai jaksa yang juga dapat melaporkan sekaligus mempidanakan seorang terlapor. Ini yang patut disoroti, walaupun secara resmi Kejati Jambi telah mencopot jabatan Gempa Awaljon Putera sebagai jaksa. Hal ini dapat dipahami sebagai realitas vox netizen vox dei atas sebuah kasus yang viral.

Rangkap jabatan lintas lembaga inilah yang dapat menegasikan ruang publik sebagai area anti kritik. Segala sesuatu yang dianggap bertentangan dengan kebijakan dapat dipidana karena tugas dan fungsi ganda pejabat publik di dua sektor vital. Yakni kebijakan dan hukum, yang sama-sama tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya.

Ada ruang kebebasan berpendapat yang sejatinya berangkat dari sistem demokrasi sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 E Ayat 3. Area yang tidak dapat diintervensi sebagaimana kepentingan perumus regulasi kebijakan. Apalagi demi check and balance sistem pemerintahan yang harus berjalan sesuai dengan kepentingan rakyat.

Belum lagi jika fenomena rangkap jabatan ini diprediksi dapat mempengaruhi prosesi Pemilu 2024 mendatang. Ada hal yang patut dikritisi dalam alur kebijakan eksekutif dalam kepentingan yudikatif sebagai lembaga tertinggi. Dalam locus-locus sosial masyarakat, yang dapat menjadi komponen penting sebagai penentu utama jumlah konstituen dengan ragam persepsinya masing-masing.

Terlebih jika ada fanatisme terhadap calon yang dijagokan dapat membuka ruang konflis sosial. Akan ada yang diuntungkan dan juga dirugikan jika semua lembaga negara telah "dianggap" berpihak pada salah satu calon. Seperti yang marak terdengar belakangan ini. Namun, realitas sosial di lingkup masyarakat tersebutlah yang harusnya dapat disikapi secara bijak, sebagai upaya meredam konflik.

Bukan lantaran sudah viral, baru terbongkar adanya rangkap jabatan yang dapat merugikan masyarakat secara umum. Kiranya hal ini banyak terjadi di daerah lain, hanya saja belum ada upaya untuk mengungkapkannya. Menurut laporan ICW ada lebih dari 100 daerah yang memiliki pejabat publik dengan status rangkap jabatan.

Dengan menyebutkan akan adanya potensi konflik kepentingan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Jikalau Kemenkeu secara resmi menegaskan perihal non salary, lantas bagaimana dengan pejabat publik di daerah? Belum lagi atas statusnya sebagai ASN yang memiliki tugas sebagai pengayom masyarakat. Nah, disinilah letak sistem pengawasan Pemerintah Pusat dapat ditinjau lebih luas.

Agar tidak bias persepsi dalam tujuannya dalam merealisasikan program-program Pemerintah. Jadi ada locus kelembagaan yang sekiranya tidak dapat dijabat sekaligus. Apalagi jika berkaitan dengan lembaga hukum dengan kapasitasnya sebagai eksekutor. Kita dapat pahami atas apa yang terjadi di Jambi sebagai bentuk dari pendeskreditan hak-hak berpendapat.

Apalagi dalam konsep het vermoeden van rechtmatigheid, dimana kebijakan Pemerintah harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya. Dalam persepsi pembuktian sebaliknya inilah ruang-ruang kritik dapat menjadi sumbang saran yang positif. Maka, sudah seharusnya pembatasan antar lembaga dapat disosialisasikan secara terbuka.

Tujuannya tentu saja sebagai media edukasi yang positif tanpa mengurangi esensi tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara pemerintahan. Terlebih jika pejabat tersebut terdata sebagai ASN, yang memiliki aturan hukum mengikat. Jangan sampai ASN yang seharusnya bertugas untuk masyarakat, justru beralih fungsi menjadi penentu kebijakan dan pembuat keputusan.

Hal inilah yang jadi catatan penting dalam ulasan ini. Perihal ASN yang memiliki jabatan ganda dalam regulasi pemerintahan. Baik di tingkat pusat, provinsi/daerah, ataupun kota, semua sudah memiliki aturan dan ketentuan hukum yang ada. Semua dapat berkaca pada kasus yang terjadi di lingkungan Pemerintah Kota Jambi, dengan segala polemik yang telah tampak dalam ruang publik.

Sekian, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun