Rangkap jabatan dengan tugas fungsional yang janggal tentunya, jika kita melihat realitas kewenangan dalam dua lembaga sekaligus. Semua berawal dari pelaporan Pemkot Jambi kepada seorang siswi SMP yang mengkritik kebijakan pemerintahnya, Gempa Awaljon Putera yang menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum Pemkot Jambi, dan sebagai Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Jambi.
Jadi jabatan ganda dalam statusnya sebagai bagian dari lembaga eksekutif secara praktis dilegitimasi sebagai jaksa yang juga dapat melaporkan sekaligus mempidanakan seorang terlapor. Ini yang patut disoroti, walaupun secara resmi Kejati Jambi telah mencopot jabatan Gempa Awaljon Putera sebagai jaksa. Hal ini dapat dipahami sebagai realitas vox netizen vox dei atas sebuah kasus yang viral.
Rangkap jabatan lintas lembaga inilah yang dapat menegasikan ruang publik sebagai area anti kritik. Segala sesuatu yang dianggap bertentangan dengan kebijakan dapat dipidana karena tugas dan fungsi ganda pejabat publik di dua sektor vital. Yakni kebijakan dan hukum, yang sama-sama tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya.
Ada ruang kebebasan berpendapat yang sejatinya berangkat dari sistem demokrasi sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 E Ayat 3. Area yang tidak dapat diintervensi sebagaimana kepentingan perumus regulasi kebijakan. Apalagi demi check and balance sistem pemerintahan yang harus berjalan sesuai dengan kepentingan rakyat.
Belum lagi jika fenomena rangkap jabatan ini diprediksi dapat mempengaruhi prosesi Pemilu 2024 mendatang. Ada hal yang patut dikritisi dalam alur kebijakan eksekutif dalam kepentingan yudikatif sebagai lembaga tertinggi. Dalam locus-locus sosial masyarakat, yang dapat menjadi komponen penting sebagai penentu utama jumlah konstituen dengan ragam persepsinya masing-masing.
Terlebih jika ada fanatisme terhadap calon yang dijagokan dapat membuka ruang konflis sosial. Akan ada yang diuntungkan dan juga dirugikan jika semua lembaga negara telah "dianggap" berpihak pada salah satu calon. Seperti yang marak terdengar belakangan ini. Namun, realitas sosial di lingkup masyarakat tersebutlah yang harusnya dapat disikapi secara bijak, sebagai upaya meredam konflik.
Bukan lantaran sudah viral, baru terbongkar adanya rangkap jabatan yang dapat merugikan masyarakat secara umum. Kiranya hal ini banyak terjadi di daerah lain, hanya saja belum ada upaya untuk mengungkapkannya. Menurut laporan ICW ada lebih dari 100 daerah yang memiliki pejabat publik dengan status rangkap jabatan.
Dengan menyebutkan akan adanya potensi konflik kepentingan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Jikalau Kemenkeu secara resmi menegaskan perihal non salary, lantas bagaimana dengan pejabat publik di daerah? Belum lagi atas statusnya sebagai ASN yang memiliki tugas sebagai pengayom masyarakat. Nah, disinilah letak sistem pengawasan Pemerintah Pusat dapat ditinjau lebih luas.
Agar tidak bias persepsi dalam tujuannya dalam merealisasikan program-program Pemerintah. Jadi ada locus kelembagaan yang sekiranya tidak dapat dijabat sekaligus. Apalagi jika berkaitan dengan lembaga hukum dengan kapasitasnya sebagai eksekutor. Kita dapat pahami atas apa yang terjadi di Jambi sebagai bentuk dari pendeskreditan hak-hak berpendapat.
Apalagi dalam konsep het vermoeden van rechtmatigheid, dimana kebijakan Pemerintah harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya. Dalam persepsi pembuktian sebaliknya inilah ruang-ruang kritik dapat menjadi sumbang saran yang positif. Maka, sudah seharusnya pembatasan antar lembaga dapat disosialisasikan secara terbuka.
Tujuannya tentu saja sebagai media edukasi yang positif tanpa mengurangi esensi tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara pemerintahan. Terlebih jika pejabat tersebut terdata sebagai ASN, yang memiliki aturan hukum mengikat. Jangan sampai ASN yang seharusnya bertugas untuk masyarakat, justru beralih fungsi menjadi penentu kebijakan dan pembuat keputusan.