Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Vox Netizen Vox Dei

3 Juni 2023   06:15 Diperbarui: 6 Juni 2023   07:20 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi netizen di sosial media (sumber: kompas.com/ftadviser.com)

Ini adalah fenomena yang tengah marak saat ini, di tengah supremasi kedaulatan rakyat yang berangkat sebagai cita-cita demokrasi.

Bukanlah hal yang baru, jika melihat suatu fenomena harus menunggu viral terlebih dahulu baru akan ada sikap atau tindakan terhadapnya. Ini barangkali realitas bangsa yang tengah dirasakan publik saat ini.

Berangkat dari berita-berita viral yang menceritakan segala persoalan sosial, ekonomi, politik, bahkan hukum. Baru dapat dipahami publik bahwa telah terjadi sesuatu persoalan yang kiranya dapat menjadi perhatian bersama. Bukan soal bagaimana latar belakangnya, melainkan rasa empati dan peduli antar sesama rakyat bangsa.

Dalam hal ini kita dapat lihat bagaimana kekuatan netizen terhadap berita yang viral menjadi kekuatan tersendiri. Khusus dalam locus public policy yang kerap tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat dan cenderung disalahgunakan. Apalagi jika berkaitan dengan kinerja para pejabat publik. Ditambah fenomena digital supremacy seolah tidak peduli dengan UU ITE, yang kerap menjadi penghalang dalam menyuarakan kebenaran.

Entah akan dianggap sebagai pencemaran nama baik, atau memancing reaksi publik yang negatif. Sebenarnya hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk check and balance, dalam menilai seberapa baik kebijakan publik dapat direalisasikan. Sebuah realitas politis berbasis media yang dipergunakan untuk mengkritisi kebijakan yang ada. Walau kerap juga dihadapkan dengan fenomena buzzer media.

Berangkat dari pandangan I Nyoman Sumaryadi, di mana massa rakyat harus terlibat dalam berbagai proses regulasi kuasa atas rakyatnya. Atau dapat diterangkan sebagai bentuk dari partisipasi publik, baik secara langsung atau tidak langsung.

Inilah yang dapat menjadi landasan penting dalam memahami demokrasi bagi kepentingan bersama. Tak lain untuk kepentingan rakyat itu sendiri, dan bukan untuk kepentingan elite atau golongan tertentu.

Inilah kiranya mengapa belakangan kita dapat temui berbagai berita yang tidak kita ketahui, namun mendapat perhatian lebih dari publik. Apalagi jika berita yang disajikan bersumbet dari persoalan di daerah, yang "konon" banyak terjadi berbagai bentuk penyimpangan kuasa. Maka tidaklah heran jika pandangan publik dari berbagai daerah seketika fokus pada persoalan yang tengah viral.

Bahkan pada beberapa kasus, sampai membuat Presiden turun tangan untuk melihat realitasnya secara langsung. Hal ini tentu membuat berbagai kalangam bertanya, bagaimana dan sejauh mana penyelenggara pemerintahan di daerah mampu mengejawantahkan visi dan misi pemerintah pusat. Kalau tidak viral, lantas tidak akan ada rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan. Namun apakah harus demikian?

Ironi memang, belum lagi jika kita bicara tentang berbagai persoalan di daerah 3T. Dimana regulasi seakan mandek tak bergerak walau berbagai kebijakan sejatinya mampu diterapkan. Tak lain ya tentu bagi kemajuan daerahnya, bukan justru stagnan dalam berbagai polemik yang ada.

Catatan serius bagi regulator baik di tingkat pusat ataupun daerah. Dengan proyeksi keberpihakan terhadap rakyatnya, dalam tujuan yang progesif. Walau kita tidak menafikan ada beberapa daerah yang konsisten membangun wilayah melaui peran serta masyarakat.

Melalui skala prioritas dan penuh harapan dalam pola-pola yang humanis. Tidak melulu bersikap feodalistik, dengan memberi sekat antara pemimpin dengam rakyatnya.

Banyak kiranya yang dapat dijadikan contoh, ketertinggalan yang terjadi pada desa-desa rentan kemiskinan. Khususnya perihal hak warga/masyarakat yang jadi tanggung jawab pemangku kebijakan. Jangankan bicara kewajiban, hak pemenuhan kebutuhan kiranya jadi prioritas utama sebelum akhirnya dapat diviralkan oleh publik.

Minimal ada yang patut dibenahi secara konsisten persoalan yang menyangkut kemandirian bangsa. Demi kemajuan dalam aspek sosial ekonomi masyarakat secara mandiri. Tak lain tentu dari desa-desa penopang kota.

Jangan sampai merasa termarginalkan dalam agenda pemerataan pembangunan. Ini yang patut dipahami, sebagai persoalan kebangsaan yang  harus diselesaikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Vox netizen vox dei, kiranya adalah sebutan yang tepat dalam menggambarkan fenomena saat ini. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun