Belakangan publik ramai perihal tata pelaksanaan Pemilu yang hendak digelar pada tahun 2024 mendatang. Tata pelaksanaan yang "konon" ditetapkan dengan sistem proporsional tertutup, disebut-sebut telah mencederai demokrasi dan keadilan dalam sistem perpolitikan yang sehat.
Hal ini mulai ramai diperbincangkan kembali, sejak Prof. Denny Indrayana, memberitakan akan adanya putusan MK yang berkaitan dengan sistem Pemilu secara proporsional tertutup. Bahkan Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi secara serius perihal informasi Pemilu tersebut, dengan penjelasan akan potensi adanya preseden buruk bagi konstelasi politik saat ini.
Lantas, apa sih yang menyebabkan hal tersebut ramai diperbincangkan? Sekiranya ulasan ini dapat memberi penjelasan bagaimana sistem Pemilu proporsional tertutup ataupun terbuka dapat dilaksanakan.
Sistem Proporsional Tertutup ringkasnya adalah, Pertama; hanya akan menampilkan logo partai dalam surat suara, tanpa ada nama calon legislatif (caleg) yang hendak diusungnya. Kedua; calon anggota parlemen ditentukan melalui kebijakan dari partai pengusung, dengan ketentuan yang ditetapkan secara mandiri. Ketiga; setiap caleg ditetapkan melalui nomor urut oleh partai.
Dalam hal ini, konstituen, tidak mendapatkan pemahaman secara utuh dari setiap calon yang diajukan oleh partai politik peserta Pemilu. Khususnya dalam mengetahui track record ataupun visi misi dari caleg yang ditetapkan oleh masing-masing partai. Hal tersebut menjadi kebijakan partai dalam mengajukan calonnya sesuai porsinya dalam kepengurusan partai tersebut.
Sistem Proporsional Terbuka ringkasnya adalah, Pertama; surat suara memuat secara lengkap calon yang diajukan oleh partai politik. Baik nama kader, dan foto yang bersangkutan. Kedua; konstituen dapat mencoblos atau mencoret kertas pemilih, sebagai bukti pilihan yang telah ditetapkan oleh KPU. Ketiga; pemenang ditetapkan melalui suara terbanyak dari masing-masing calon.
Jadi, seperti pada perhelatan Pemilu sebelumnya, mekanisme proporsional terbuka dijalankan. Nah, dari kedua sistem tersebut tentu ada berbagai koreksi antar satu dengan lainnya. Baik secara kelebihan ataupun kekurangan yang dialami kala Pemilu digelar. Namun, sesuai dengan UU Pemilu yang berlaku, masih menetapkan sistem terbuka. Sampai ada putusan MK terkait pelaksanaan Pemilu kelak.
Wacana yang beredar mengenai isu MK akan menetapkan sistem tertutup tentu membuat kita ingat sistem Pemilu pada masa Orde Baru. Dimana masih menurut Denny Indrayana, akan berpotensi membangkitkan sistem otoritarianisme dan budaya korupsi di lingkungan partai. Khususnya antar sesama calon yang hendak diusung partai dengan mekanisme "jual beli" penentuan nomor urut.
Jika ditinjau dari proses demokratisasi, tentu Pemilu secara terbuka dapat dikatakan lebih baik. Selain sistemnya yang transparan dan dapat diketahui secara langsung oleh para pemilih. Khususnya perihal calon yang diusung oleh partai kontestan Pemilu. Dalam hal ini, proyeksi selama masa kampanye dapat dijadikan tolak ukur terbaik dari masing-masing kandidat.
Pemilih tentunya akan menjadikan referensi masa kampanye bagi pilihannya. Bukan justru pilihan ditentukan oleh putusan internal partai, yang eksklusif dan tertutup. Terlebih dapat membuka ruang demokrasi bagi calon-calon lain yang berada pada setiap nomor urut dari kertas suara. Maka dalam hal ini dapat dikatakan, sistem proporsional terbuka lebih baik dari sistem proporsional tertutup.