Kesehatan adalah kebutuhan dasar yang wajib dimiliki oleh setiap manusia. Ia mendapatkan porsinya secara khusus dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H Ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Suatu hak yang dijamin secara tegas dan tidak bisa diganggu-gugat keberadaannya. Hal ini konon menjadi landasan utama Pemerintah dalam merumuskan Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Namun RUU Kesehatan Omnibus Law ini banyak menerima tanggapan negatif dari kalangan tenaga kesehatan itu sendiri. Mengapa demikian?
Setidaknya ada 5 organisasi keshatan yang menyatakan penolakannya. Seperti, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Kelima organisasi tersebut tetap pada komitmennya menolak RUU Kesehatan Omnibus Law dengan tegas.
Para tenaga kesehatan (nakes) yang menyatakan penolakannya, beranggapan bahwa isi RUU tersebut rentan terhadap kriminalisasi nakes ketika menangani pasien. Selain itu dikemukakan bahwa ada pasal yang menyatakan peran Menteri Kesehatan akan mengambil alih segala kebijakan kesehatan dari hulu hingga hilir. Dengan optimalisasi kebijakan satu pintu dalam sebuah wadah organisasi.
Tentunya ada berbagai macam pasal yang telah diperdebatkan selama beberapa waktu belakangan ini. Baik perihal kode etik, perihal pendidikan dokter, ataupun naskah-naskah yang dapat mengakibatkan multitafsir bagi para nakes. Namun kiranya melalui tulisan ini, masyarakat juga dapat memberikan pandangannya terhadap RUU tersebut sesuai penafsirannya.
Seperti pada Pasal 454 dan 455 yang menjelaskan bahwa setiap orang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat kesehatan tanpa standar serta tidak memiliki perizinan, maka akan dikenakan sanksi pidana. Apakah pasal ini dapat menghilangkan perdearan alat kerik tradisional dari pasaran?
Selain itu, pada Pasal 456 yang menjelaskan bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan tetapi melakukan praktik kefarmasian, dapat dipidana secara langsung. Nah, bagaimana nasib para tukang jamu tradisional yang tidak memiliki sertifikasi dalam membuat obat racikan tersebut?
Namun ada yang paling unik dari RUU Kesehatan ini, yakni pada Pasal 461 yang menjelaskan bahwa setiap orang yang bukan tenaga medis atau tenaga kesehatan melakukan praktik sebagai tenaga medis atau kesehatan yang telah memiliki SIP, akan dikenakan pidana. Nah, Gus Wesi pasti ketar ketir karena adanya pasal ini...
Pasal ini dianggap dapat memberi ruang multitafsir jika merujuk pada Pasal 159 tentang pelayanan pengobatan tradisional. Dengan kebijakan wajib dalam pengadaan Surat Tanda Registrasi (STR) bagi penyedia layanan pengobatan tradisional.
Melalui naskah Persiapan RUU Kesehatan yang telah direvisi melalui DPR kiranya masih memberi peluang bagi masalah kriminalisasi bagi tenaga non medis atau dalam hal ini (diperbantukan). Seperti yang diutarakan oleh IDI dengan penjelasan bahwa masih banyak daerah yang minim tenaga medis ataupun tenaga kesehatan. Selain faktor sarana dan prasarana yang tidak memadai dan belum baik.
Belum lagi polemik mengenai Pasal 154 Ayat (3) perihal tembakau yang dikategorikan sebagai psikotropika. Kalau sudah demikian, maka akan ada jutaan buruh pabrik rokok yang di PHK. Beserta ribuan petani tembakau yang kehilangan mata pencahariannya. Tak heran jika banyak dari kalangan ormas menyoroti hal ini sebagai bentuk dari adanya upaya kapitalisasi tembakau.
Walau tujuannya tentu saja positif untuk kesehatan, namun akan lebih bijak jika tenaga kerja yang berada dalam sektor tersebut dapat difasilitasi terlebih dahulu untuk peralihan lapangan kerja baru. Agar tidak memberi dampak besar bagi perekonomian bangsa, yang konon memiliki serapan besar dalam sektor pertanian tembakau.
Jadi tidak hanya terhadap tenaga medis atau tenaga kesehatan RUU Kesehatan ini dapat berdampak. Namun terhadap berbagai macam sektor sosial-ekonomi yang patut diperhatikan keberadaannya. Khususnya terhadap pengoptimalisasian sumber daya alam berorientasi pada kebutuhan pangan untuk rakyat secara berkeadilan. Perbaikan gizi kiranya adalah kunci.
Memperbaiki sistem ketahanan kesehatan, sepertinya akan lebih baik jika dimulai melalui program ketahanan pangan. Ketahanan pangan adalah hal yang fundamental bagi pemenuhan hak setiap warga negara. Sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan. Dimana secara jelas telah dikemukakan sesuai Undang-Undang Dasar 45, dengan kalimat hidup sejahtera lahir batin adalah yang utama.
Apalagi jika yang dikeluhkan dan dikhawatirkan adalah persoalan penanganan pasien seperti yang banyak diulas pada RUU tersebut. Akan dapat terbayangkan, bagaimana para nakes akan sangat stres mikirin jikalau pasiennya meninggal dunia. Seakan ada ancaman yang menghantui dengan tuntutan perlakuan medis secara sempurna dan tepat.
Walau secara resmi Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah memberikan penjelasan, bahwa perlindungan hukum bagi tenaga medis ataupun tenaga kesehatan tetap menjadi prioritas utama yang RUU Kesehatan. Dengan memberi perlindungan petugas medis untuk bertindak seperti yang telah diterangkan pada Pasal 282. Serta Pasal 322 Ayat (4) dengan pendekatan mekanisme peradilan restoratif.
Semoga ada keputusan terbaik dalam menyelesaikan polemik ini. Baik melalui pembahasan secara terbuka dari Pemerintah, dengan melibatkan organisasi-organisasi yang menyatakan penolakannya, ataupun dengan pelibatan masyarakat secara penuh. Agar tidak bias persepsi dan terkesan buru-buru dalam mengesahkan RUU yang menjadi kewajiban publik di kemudian hari. Terima kasih.
Jika ingin mengetahui lebih lengkap mengenai isi dari RUU Kesehatan, dapat didownload pada link berikut:
Draft Isi RUU Tentang Kesehatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H