Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Pejuang di Persimpangan Republik

15 November 2022   05:30 Diperbarui: 15 November 2022   05:29 1584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabarudin dikenal sebagai pengikut "setia" Tan Malaka, sejak pelariaannya usai peristiwa Madiun berkecamuk. Walau pada suatu peristiwa, Tan Malaka "ditelantarkan" olehnya, karena posisi pasukannya telah dikepung oleh para pejuang yang hendak menumpas gerombolannya di sekitar lereng gunung Wilis.

Bahkan pada suatu peristiwa, Sabarudin sempat mengancam Panglima Soedirman yang tengah memimpin rapat di Markas Besar Tentara (MBT).

Walau diantara mereka yang pernah "membelot" memilih kembali kepada Republik, tetapi alasan-alasan ideologis tentu dapat dijadikan proyeksi terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dikemudian hari. Seperti kita lihat dalam kasus Alex Kawilarang yang sempat bergabung dengan Permesta. Melalui "tangan dinginnya", pemberontakan RMS justru dapat ditumpas.

Kita dapat ketahui, diantara para eks pejuang lain yang terus memberontak ialah mereka yang berhaluan komunis. Dimana peristiwa September 1965 disebut sebagai peristiwa puncaknya dengan D.N. Aidit sebagai pemimpinnya.

Lain hal pada kasus S.M. Kartosoewiryo, yang sosoknya memiliki kedekatan khusus dengan Bung Karno. Dalam vonis yang dibacakan untuk menuntut mati, Bung Karno sampai menangis ketika menandatangani keputusan hukum terhadapnya. Sama halnya dengan Syafruddin Prawiranegara, yang pernah dimandatkan untuk mendirikan Negara darurat di Sumatera Barat.

Keterlibatannya dalam polemik PRRI menjadikan dirinya kerap "dilabeli" pemberontak oleh beberapa kalangan. Walau dasar pertentangannya berangkat dari ketidaksetujuannya terhadap sistem Demokrasi Terpimpin yang ditetapkan oleh Pemerintah kala itu. Nah, disinilah letak benang merahnya, mengapa "eksistensinya" selalu dipantau hingga masa Orde Baru usai Petisi 50.

Sikap pertentangan atau oposisi tentu menjadi hal yang wajar dalam sistem demokrasi Indonesia. Sejak masa kemerdekaan, hal itu menjadi lumrah terjadi, walau pada masa itu kerap berakhir dengan jalan pemberontakan. Khususnya terhadap perbedaan ideologi, yang kala itu masih kerap bersinggungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Maka, sedianya, judul para pejuang disimpang Republik ini sekiranya dapat memberikan pemahaman lebih bagi kita dalam melihat benang merah berbagai peristiwa sejarah. Dimana para pejuang kemudian justru banyak yang terlibat dalam berbagai peristiwa pemberontakan. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun