Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Pejuang di Persimpangan Republik

15 November 2022   05:30 Diperbarui: 15 November 2022   05:29 1584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soe Hok Gie dalam sebuah literasi (Sumber: dokpri)

Siapa yang tidak mengenal dengan salah seorang kombatan Perang Surabaya bernama Soemarsono? Seorang pentolan pemuda pejuang dari barisan Pemuda Republik Indonesia (PRI). Memiliki massa pendukung hingga 3.500 laskar dengan kira-kira 2.000 pucuk senjata, PRI menjadi momok yang menakutkan bagi Sekutu setelah Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) Bung Tomo.

Begitupula dengan Amir Syarifuddin, seorang diplomator ulung Republik pada masa-masa pasca Kemerdekaan Indonesia. Serta memiliki ribuan pendukung dari para pejuang bersenjata. Lantaran pada medio 1945-1945, ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Kelak melalui gerakannya, laskar Front Demokrasi Rakyar (FDR) terbentuk dengan dalih kekecewaan terhadap Republik.

Sama halnya dengan Wikana, yang kita ketahui kiprahnya tatkala proses Proklamasi dikumandangkan, serta dalam peristiwa Rengasdengklok bersama D.N. Aidit. Lantaran memilih jalan revolusioner yang menentang Pemerintah pada tahun 1948, nama mereka pun tergilas oleh roda sejarah Indonesia, dengan identifikasi sebagai para pemberontak.

Para tokoh di barisan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) seperti Sudisman pun memilih jalan terjalnya dalam pemberontakan Madiun. Lantaran sempat menaruh kecewa terhadap sikap diplomatis Pemerintah dalam menghadai NICA-Belanda. Termasuk persoalan kebijakan peleburan laskar ke dalam ketentaraan (ReRa), yang dianggap merugikan para pejuang.

Senada dengan aksi S.M. Kartosoewiryo yang mengikrarkan pendirian Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat. Kiprahnya dalam menentang penjajah Belanda hingga Jepang tentu tidak dapat dipungkiri. Khususnya dalam peristiwa Bandung Lautan Api, yang terjadi pasca kemerdekaan. Pasukannya pun sempat berjibaku ditengah kecamuk perang di kota Bandung.

Kita dapat melihat suasana lain dalam peristiwa PRRI/Permesta, yang berangkat dari persoalan tendensi pragmatis. Dalam aspek ketidakmerataan upaya pembangunan dari kota ke daerah-daerah. Sebuah latar belakang yang berbuntut terhadap aksi pemberontakan oleh para pejuang di Sumatera dan Sulawesi.

Dalam berbagai kasus kita dapat lihat, bahwa latar belakang ideologi yang mempengaruhi terjadinya aksi "nyebrang" para pejuang tentu memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Seperti para tokoh yang terlibat dalam pemberontakan komunis di Madiun, yang rata-rata berasal dari para pejuang di Surabaya, seperti Soemarsono.

Juga mereka yang pernah melakukan huru-hara si Surakarta sesaat sebelum pemberontakan Madiun meletus, rata-rata para desertir adalah mereka yang terlibat dalam pertempuran di Semarang, Magelang, dan Ambarawa. Faktor kekecewaan menjadi alasan utama yang sekiranya dapat dijadikan analisisnya.

"Mereka berontak karena tidak dipenuhi tuntutannya, dan mereka bersenjata". Walau dalam beberapa kasus, memiliki latar belakang yang berbeda. Soe Hok Gie, melihat fenomena ini sebagai upaya kritik terhadap pemerintah, walau dengan jalan yang tidak tepat.

Bahkan Jenderal Soedirman pun sempat berkomunikasi dengan Tan Malaka, lantaran konsep Merdeka 100 persen dengan sikap anti diplomasi pernah membuat Sang Panglima kepincut. Maka, perihal Tan Malaka ini kemudian dapat kita kenal juga sosok Sabarudin, yang terkenal brutal dalam melancarkan aksi-aksi perlawanannya terhadap para pejuang Republik sendiri!

Sabarudin dikenal sebagai pengikut "setia" Tan Malaka, sejak pelariaannya usai peristiwa Madiun berkecamuk. Walau pada suatu peristiwa, Tan Malaka "ditelantarkan" olehnya, karena posisi pasukannya telah dikepung oleh para pejuang yang hendak menumpas gerombolannya di sekitar lereng gunung Wilis.

Bahkan pada suatu peristiwa, Sabarudin sempat mengancam Panglima Soedirman yang tengah memimpin rapat di Markas Besar Tentara (MBT).

Walau diantara mereka yang pernah "membelot" memilih kembali kepada Republik, tetapi alasan-alasan ideologis tentu dapat dijadikan proyeksi terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dikemudian hari. Seperti kita lihat dalam kasus Alex Kawilarang yang sempat bergabung dengan Permesta. Melalui "tangan dinginnya", pemberontakan RMS justru dapat ditumpas.

Kita dapat ketahui, diantara para eks pejuang lain yang terus memberontak ialah mereka yang berhaluan komunis. Dimana peristiwa September 1965 disebut sebagai peristiwa puncaknya dengan D.N. Aidit sebagai pemimpinnya.

Lain hal pada kasus S.M. Kartosoewiryo, yang sosoknya memiliki kedekatan khusus dengan Bung Karno. Dalam vonis yang dibacakan untuk menuntut mati, Bung Karno sampai menangis ketika menandatangani keputusan hukum terhadapnya. Sama halnya dengan Syafruddin Prawiranegara, yang pernah dimandatkan untuk mendirikan Negara darurat di Sumatera Barat.

Keterlibatannya dalam polemik PRRI menjadikan dirinya kerap "dilabeli" pemberontak oleh beberapa kalangan. Walau dasar pertentangannya berangkat dari ketidaksetujuannya terhadap sistem Demokrasi Terpimpin yang ditetapkan oleh Pemerintah kala itu. Nah, disinilah letak benang merahnya, mengapa "eksistensinya" selalu dipantau hingga masa Orde Baru usai Petisi 50.

Sikap pertentangan atau oposisi tentu menjadi hal yang wajar dalam sistem demokrasi Indonesia. Sejak masa kemerdekaan, hal itu menjadi lumrah terjadi, walau pada masa itu kerap berakhir dengan jalan pemberontakan. Khususnya terhadap perbedaan ideologi, yang kala itu masih kerap bersinggungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Maka, sedianya, judul para pejuang disimpang Republik ini sekiranya dapat memberikan pemahaman lebih bagi kita dalam melihat benang merah berbagai peristiwa sejarah. Dimana para pejuang kemudian justru banyak yang terlibat dalam berbagai peristiwa pemberontakan. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun