Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jibakutai Fenomena Kamikaze di Masa Revolusi

23 Oktober 2022   06:30 Diperbarui: 23 Oktober 2022   20:09 2440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen pejuang berani mati (Sumber: Dokpri)

Mungkin banyak yang tidak mengetahui eksistensi pasukan ini selama perang revolusi di masa bersiap. Baik dalam pertempuran besar atau sporadis, aksi-aksi yang mereka lakukan kerap menimbulkan kerugian yang besar bagi pihak musuh. Ialah Jibakutai, sebuah detasemen pasukan berani mati yang dibentuk oleh Jepang pada bulan Desember 1944.

Sejak Jepang terdesak pada Perang Pasifik, eksistensi pasukan berani mati memang menjadi opsi utama dalam melawan pihak Sekutu. Terbentuknya detasemen Kamikaze pun merupakan salah satu upaya Jepang dalam membalas ofensif Sekutu yang semakin besar. Baik di Jepang atau di Indonesia, pasukan penggempur berani mati sedianya menjadi alternatif perlawanan.

Kala itu, di Indonesia, anggota pasukan Jibakutai terdata mencapai 50.000 personil. Seluruh pasukan ini sedianya akan dipergunakan Jepang untuk melawan Sekutu jika pecah pertempuran di wilayah Indonesia. Para personil pasukan Jibakutai pun secara intensif mendapatkan pelatihan mengenai teknik bom bunuh diri di wilayah Cibarusah, Kabupaten Bogor.

Jibakutai sendiri memiliki arti "Pasukan Bom Bunuh Diri", yang dianggap sebagai reduksi dari pasukan Kamikaze Jepang. Kapten Yanagawa, yang bertanggung jawab sebagai instruktur tidak segan-segan memberi doktrin berani mati untuk tanah air adalah suatu kewajiban bagi rakyatnya.

Seperti kita ketahui, Jepang semakin masif dalam membangun pasukan lokal sejak akhir tahun 1944. Baik di dalam PETA ataupun Heiho, yang telah terbentuk lebih awal. Walau pada akhirnya, pengalaman militer yang didapat, kelak akan dipergunakan untuk melawan Jepang itu sendiri usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Uniknya, rata-rata para pasukan Jibakutai tidak diberikan pelatihan bertempur menggunakan senjata api selama pelatihan. Hanya teknik menggunakan bom untuk kepentingan merusak area lawan. Tetapi, secara lambat laun, para pasukan Jibakutai mendapat metode teknik bertempur melalui rekan-rekan seperjuangan lainnya.

Khususnya pada barisan pejuang Republik, yang memang menempatkan pasukan Jibakutai dalam porsi khusus sebagai satuan penggempur yang terkoordinir secara kelompok. Nah, melalui kelompok-kelompok kecil, mereka kemudian bergerak secara diam-diam dari berbagai sudut kota atau desa dengan membawa sejumlah bahan peledak.

Maka, kedudukan mereka secara militer pun tidak mendapatkan porsi yang memadai. Artinya, para pasukan Jibakutai ini tidak memiliki seragam atau bahkan asrama, dengan fasilitas yang selayaknya seorang militer. Tetapi, hal tersebut tidak membuat semangat pasukan ini kendur.

Selama masa kemerdekaan, kesatuan ini kemudian berubah nama menjadi Barisan Berani Mati. Dimana fungsi dan tugasnya dapat dikembangkan sebagai ahli bahan peledak. Terkadang, keahlian mereka pun sanggup dikembangkan sebagai seorang ahli dalam teknik pasang ranjau. Walau esensi utama pasukan ini tetap menjadi kesatuan Kamikaze.

Tekadnya ya hanya satu, merusak area musuh dengan jalan mengorbankan diri adalah jalan ninjanya. Seperti dalam perang yang terjadi di front Bandung, Semarang, Ambarawa, ataupun Surabaya. Dimana dalam front Surabaya, eksistensi gerakan pasukan Jibakutai sangat masif terjadi usai Resolusi Jihad difatwakan.

Fenomena yang membuat gerakan massa secara masif mendatangi segala front pertempuran. Semangat jihad fii sabilillah yang digelorakan oleh K.H. Hasyim Asy'ari, adalah spirit juang yang mampu menggelorakan rakyat untuk turut bertempur sampai titik darah penghabisan.

Bahkan dengan berbekal sebuah ranjau darat, pasukan Jibakutai yang bergerak secara individual mampu menghancurkan peralatan perang Sekutu ataupun NICA-Belanda. Seperti tank, brencarrier, panser, truk, dan lain-lain. Diantaranya tercatat bahkan kerap menjadikan pos penjagaan Sekutu sebagai target yang harus dihancurkan.

Dalam suatu peristiwa pertempuran di Jembatan Merah, Surabaya, beberapa aksi pasukan Jibakutai ini membuat Sekutu terkejut. Bahkan sempat menuding, bahwa pasukan Republik telah memperalat pasukan Jepang, untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Yap, kala itu memang Sekutu tengah dihinggapi penyakit Kamikazephobi.

Mereka tidak menyangka, bahwa pasukan bom bunuh diri ternyata adalah para pejuang Indonesia. Bukan kaleng-kaleng, tanpa berpikir strategis, tiba-tiba ledakan besar terjadi di tengah konvoi pasukan kavaleri Sekutu. Dimana hal itu menjadi pemandangan biasa kala itu. Horor Jibakutai seketika merebak secara masif dalam pertempuran di front Surabaya.

Suatu aksi assasin yang tidak dapat dideteksi dengan cepat oleh pasukan Sekutu. Terlebih, pasukan Kamikaze Indonesia ini memang kerap menyamar sebagai seorang rakyat biasa, dengan bom berdaya ledak tinggi dibalik jinjingannya. Jadi, bukan hanya pasukan Jepang yang berani mati demi membela tanah airnya, pun dengan para pejuang Indonesia.

Tidak ada yang lebih berani dan nekat diantara pasukan lain kala itu, selain dari Barisan Beran Mati. Mereka rela berkorban raga hanya untuk menjaga Kemerdekaan Indonesia. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun