Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Amuk Berdarah di Kali Bekasi

19 Oktober 2022   05:45 Diperbarui: 26 Juli 2024   21:32 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak tersiarnya kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di berbagai daerah terjadi pergolakan sosial yang kerap diwarnai dengan insiden-insiden bersenjata. Begitupula di Bekasi, tatkala Jepang telah menyerah kalah usai Sekutu membom atom Hiroshima dan Nagasaki. Walau tidak di semua front pasukan Jepang dapat dikatakan langsung takluk.

Tentara Sekutu bersama NICA-Belanda yang telah mendarat di Jakarta kemudian menjadikan Kali Bekasi sebagai garis demarkasi yang memisahkan area terbuka untuk aksi-aksi militer dan status politis. Jadi, di luar garis batas tersebut, maka berbagai aksi militer dapat dilakukan bila itu demi tujuan Sekutu "mengamankan"  wilayah kekuasaannya.

Begitupula dengan para pejuang Republik, yang menjadikan Kali Bekasi sebagai front terdepan dalam aksi pertempuran di Bekasi menghadapi Sekutu, pun dengan tentara Jepang yang masih tersisa. Mulanya tentu saja mengurus interniran atau tawanan perang Jepang yang hendak dipulangkan ke negaranya usai kekalahan mereka di front Pasifik.

Sedangkan di Indonesia, perlakuan yang sama juga diberikan terhadap para tawanan Jepang yang berhasil ditahan pihak Sekutu. Dengan maksud yang sama, yakni dipulangkan melalui jalur udara di Kalijati, Subang. Kala itu hanya melalui moda transportasi kereta api sebagai salah satu alternatif pemindahan tawanan yang efektif.

Selain dapat mengangkut banyak orang, kereta api dapat lebih cepat sampai ke lokasi tujuan. Nah, di sektor Bekasi inilah peristiwa tragis kelak terjadi dalam proses pemindahan para tawanan Jepang. Disebutkan bahwa dalam proses perjalanan kereta api yang mengangkut para tawanan tersebut tengah meluncur dari Jatinegara menuju Kalijati.

Ditengah perjalanan, tepatnya ketika memasuki stasiun Cikampek, oleh para pejuang, kereta api tersebut diminta untuk kembali ke Jakarta. Apabila tidak memenuhi, maka akan terjadi pertempuran. Ancaman yang akhirnya membuat pasukan pengawal kereta api memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Kala itu peeistiwa terjadi pada 19 Oktober 1945.

Tetapi, ketika sampai di stasiun Bekasi, perjalanan tidak dapat diteruskan, lantaran jalur utama kereta api dipindahkan ke arah jalur mati oleh sepasukan pejuang Bekasi. Seketika Letda Zakaria dari TKR Bekasi segera naik untuk melakukan penggeledahan. Diatas kereta, kemudian didapati sekitar 90 pasukan Kaigun Jepang dengan beberapa senjata yang terlihat aktif dan siap untuk menembak.

Letda Zakaria yang ditemani oleh beberapa pejuang, kemudian mempertanyakan surat jalan dari para interniran tersebut. Walaupun surat jalan telah didapatkan, tiba-tiba suara tembakan meletus dari salah satu pasukan Jepang yang berjaga di dalam kereta. Sontak saja, peristiwa itu membuat seluruh pasukan TKR yang berjaga di stasiun Bekasi menjadi terkejut.

Tanda pertempuran yang sedianya terjadi, dengan baku tembak diantara para pasukan Jepang dengan pejuang Republik. Pasukan Jepang hanya mampu bertahan di dalam kereta api yang telah dikepung oleh ratusan pejuang bersama rakyat Bekasi. Tidak lama, mereka (Jepang) pun menyerah karena sudah tidak mampu bertahan dalam kondisi terjepit di dalam gerbong kereta.

Sekali bom, bisa hancur semua, mungkin itu yang ada dipikiran para pasukan Jepang. Bersamaan dengan aksi penangkapan kepada semua pasukan Jepang, untuk diarahkan keluar kereta menuju sebuah penjara yang berada di belakang stasiun Bekasi. Selama sesi penangkapan, amuk massa rakyat Bekasi sudah tidak dapat dihindarkan.

Mereka sekiranya sudah muak dengan tentara Jepang ketika menguasai Indonesia. Semua dilampiaskan dalam aksi-aksi kekerasan kepada para tawanan tersebut. Mayor Sambas yang bertanggungjawab atas pasukan Resimen V Bekasi pun tidak mampu berbuat banyak. Semakin banyak massa yang datang dengan membawa senjata tajam ke area stasiun Bekasi.

Bahkan tanpa sepengetahuannya, aksi anarkis pada akhirnya berujung pada peristiwa eksekusi massal terhadap para tawanan Jepang tersebut. Mereka dibariskan berjajar dengan cara diikat menuju pinggir kali Bekasi. Semua digiring, tidak terkecuali yang terluka. Satu persatu para pasukan Jepang kemudian dieksekusi dengan senjata tajam, dan jasadnya langsung dibuang ke kali Bekasi.

Suatu peristiwa tragis yang melibatkan para pejuang di masa bersiap ini langsung menuai kritik dari Laksamana Maeda. Seketika sang Laksamana melayangkan protes kepada Pemerintah Indonesia. Hingga membuat Bung Karno turun langsung ke Bekasi untuk memberikan arahan langsung kepada rakyat dan pejuang Republik disana.

Suatu bentuk kesalahan, adalah mengeksekusi tawanan perang tanpa persetujuan dan proses hukum dari Pemerintah. Walau tidak ada yang dijadikan tersangka, pada akhirnya Laksamana Maeda pun "maklum" dengan peristiwa tragis tersebut. Tentu tidak ada yang sekiranya disalahkan. Faktor revolusi sosial dan militer adalah argumentasi utama selama masa bersiap terjadi di Indonesia.

Aksi amuk massal konon membuat kali Bekasi langsung menjadi merah warnanya. Darah dari para tawanan Jepang dan jasad yang hanyut membuat selama beberapa waktu rakyat tidak ada yang berani mendekati area kali. Tersiar kabar konon arwah-arwah dari para tentara Jepang, selalu menghantui warga yang hendak beraktivitas di sekitar kali Bekasi.

Sebagai tanda prihatin atas peristiwa tersebut, maka Pemerintah Indonesia mendirikan monumen Peristiwa Kali Bekasi. Selain upaya untuk mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap upaya-upaya diplomasi Indonesia kala itu. Hingga saat ini, setiap tanggal 19 Oktober selalu ada agenda rutin tabur bunga di lokasi peristiwa tragis tersebut terjadi.

Sekiranya peristiwa ini dapat menjadi contoh untuk kita saat ini. Karena pasti ada hikmah yang dapat diambil pada setiap peristiwa. Bahwa sikap simpati dan empati sekiranya lebih penting daripada aksi-aksi yang dapat menimbulkan anarki. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun