Sejak tersiarnya kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di berbagai daerah terjadi pergolakan sosial yang kerap diwarnai dengan insiden-insiden bersenjata. Begitupula di Bekasi, tatkala Jepang telah menyerah kalah usai Sekutu membom atom Hiroshima dan Nagasaki. Walau tidak di semua front pasukan Jepang dapat dikatakan langsung takluk.
Tentara Sekutu bersama NICA-Belanda yang telah mendarat di Jakarta kemudian menjadikan Kali Bekasi sebagai garis demarkasi yang memisahkan area terbuka untuk aksi-aksi militer dan status politis. Jadi, di luar garis batas tersebut, maka berbagai aksi militer dapat dilakukan bila itu demi tujuan Sekutu "mengamankan" Â wilayah kekuasaannya.
Begitupula dengan para pejuang Republik, yang menjadikan Kali Bekasi sebagai front terdepan dalam aksi pertempuran di Bekasi menghadapi Sekutu, pun dengan tentara Jepang yang masih tersisa. Mulanya tentu saja mengurus interniran atau tawanan perang Jepang yang hendak dipulangkan ke negaranya usai kekalahan mereka di front Pasifik.
Sedangkan di Indonesia, perlakuan yang sama juga diberikan terhadap para tawanan Jepang yang berhasil ditahan pihak Sekutu. Dengan maksud yang sama, yakni dipulangkan melalui jalur udara di Kalijati, Subang. Kala itu hanya melalui moda transportasi kereta api sebagai salah satu alternatif pemindahan tawanan yang efektif.
Selain dapat mengangkut banyak orang, kereta api dapat lebih cepat sampai ke lokasi tujuan. Nah, di sektor Bekasi inilah peristiwa tragis kelak terjadi dalam proses pemindahan para tawanan Jepang. Disebutkan bahwa dalam proses perjalanan kereta api yang mengangkut para tawanan tersebut tengah meluncur dari Jatinegara menuju Kalijati.
Ditengah perjalanan, tepatnya ketika memasuki stasiun Cikampek, oleh para pejuang, kereta api tersebut diminta untuk kembali ke Jakarta. Apabila tidak memenuhi, maka akan terjadi pertempuran. Ancaman yang akhirnya membuat pasukan pengawal kereta api memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Kala itu peeistiwa terjadi pada 19 Oktober 1945.
Tetapi, ketika sampai di stasiun Bekasi, perjalanan tidak dapat diteruskan, lantaran jalur utama kereta api dipindahkan ke arah jalur mati oleh sepasukan pejuang Bekasi. Seketika Letda Zakaria dari TKR Bekasi segera naik untuk melakukan penggeledahan. Diatas kereta, kemudian didapati sekitar 90 pasukan Kaigun Jepang dengan beberapa senjata yang terlihat aktif dan siap untuk menembak.
Letda Zakaria yang ditemani oleh beberapa pejuang, kemudian mempertanyakan surat jalan dari para interniran tersebut. Walaupun surat jalan telah didapatkan, tiba-tiba suara tembakan meletus dari salah satu pasukan Jepang yang berjaga di dalam kereta. Sontak saja, peristiwa itu membuat seluruh pasukan TKR yang berjaga di stasiun Bekasi menjadi terkejut.
Tanda pertempuran yang sedianya terjadi, dengan baku tembak diantara para pasukan Jepang dengan pejuang Republik. Pasukan Jepang hanya mampu bertahan di dalam kereta api yang telah dikepung oleh ratusan pejuang bersama rakyat Bekasi. Tidak lama, mereka (Jepang) pun menyerah karena sudah tidak mampu bertahan dalam kondisi terjepit di dalam gerbong kereta.
Sekali bom, bisa hancur semua, mungkin itu yang ada dipikiran para pasukan Jepang. Bersamaan dengan aksi penangkapan kepada semua pasukan Jepang, untuk diarahkan keluar kereta menuju sebuah penjara yang berada di belakang stasiun Bekasi. Selama sesi penangkapan, amuk massa rakyat Bekasi sudah tidak dapat dihindarkan.