Peristiwa ini terjadi pada permulaan tahun 1965, tepatnya pada tanggal 13 Januari. Pada tahun ini, gesekan yang terjadi antara kelompok komunis dengan Islam sedang hangat-hangatnya. Khususnya antara PKI dengan NU, yang kala itu menjadi rival utama dalam kancah perpolitikan Indonesia, usai Masyumi dibekukan oleh Pemerintah.
PKI dengan organisasi-organisasi pendukungnya seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, hingga Gerwani memang kerap unjuk kekuatan ditengah kecamuk gesekan sosial di masyarakat. Bagi kelompok nasionalis (PNI), aksi-aksi serupa juga kerap menjadi masalah di tingkat bawah. Khususnya terhadap aksi penyerobotan tanah yang dilakukan oleh BTI terhadap anggota PNI.
Dimana karena persoalan tersebut masyarakat seolah terbagi menjadi dua kutub yang saling berbenturan, yakni NU bersama PNI dan PKI menjadi lawannya. Bukan hanya soal sengketa tanah semata, aksi kekerasan terkait pemilihan kepala desa juga menjadi kisah kelam yang sepertinya luput dari perhatian. Seperti yang banyak terjadi di Kediri, seperti di desa Kanigoro.
Kanigoro, yang kala itu dianggap sebagai "desa merah" atau didominasi oleh para simpatisan komunis, mulai kerap melakukan teror terhadap lembaga-lembaga Islam, khususnya terhadap aktivitas pondok pesantren. Nah, di Kanigoro ini ada pondok pesantren bernama Al-Jauhar, yang diasuh oleh Kyai Jauhari, ayah dari Gus Maksum pengasuh dari pondok pesantren Lirboyo.
Pada hari itu, pondok pesantren Kanigoro tengah melakukan kegiatan mental training, yang dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) se Jawa Timur. Mereka berkegiatan di pondok sejak tanggal 9 Januari 1965, dengan mengikuti pengajian dan ceramah yang diisi oleh para pemuka agama.
Terhitung ada sekitar 127 peserta pelatihan bersama 36 panitia penyelenggara. Hingga pada suatu sesi acara, panitia penyelenggara menghadirkan M. Samelan, seorang aktivis Islam dari Masyumi, untuk memberi ceramah. Nah, dari sinilah geger Kanigoro dimulai. Anis Abiyoso selaku panitia pelaksana bersikukuh untuk terus menjalankan kegiatan, walau sudah tampak ada intimidasi dari luar.
Patut diingat, kala itu Masyumi adalah partai terlarang, dan hal ini dijadikan alasan kelompok komunis di Kanigoro melakukan aksi serangan terhadap para peserta mental training. Peristiwa penyerangan itu terjadi sekitar pukul 04.30, dan dilakukan oleh massa dari BTI dan Pemuda Rakyat. Mereka merangsek masuk hingga ke dalam masjid, untuk membubarkan pelatihan tersebut.
Aksi kekerasan tidak dapat dihindari, dimana para peserta pelatihan bersama para ulama kemudian digiring untuk keluar pondok. Beberapa versi menjelaskan bahwa dalam peristiwa tersebut juga terjadi pelecehan terhadap kitab suci umat Islam. Berikut dengan aksi pelecehan verbal dan fisik yang dialamatkan kepada seluruh pengurus pondok, peserta, dan panitia.
Banyak saksi yang menuturkan peristiwa tersebut secara rinci, seperti pengakuan Anis Abiyoso sendiri. Ribuan massa komunis yang telah mengepung area pelatihan selain bertindak kasar juga telah melecehkan Al-Qur'an. Walau kala itu koran Harian Rakyat yang pro PKI menyangkal perihal peristiwa di Kanigoro.
Semua yang terlibat pada kegiatan pelatihan, kemudian diarak menuju kantor polisi Kras. Sejauh 7 kilometer dan selama itu ancaman atau intimidasi kerap dialamatkan kepada para santri. Banyak saksi dari peristiwa ini, karena ribuan orang di sepanjang jalan melihat aksi kekerasan tersebut.
Gus Maksum Jauhari, yang mendengar peristiwa Kanigoro, dengan segera menghimpun kekuatan untuk melakukan aksi balasan. Khususnya dalam upaya pembebasan ayahandanya, Kyai Jauhari. Barisan Anshor pun segera bertindak pada tanggal 18 Januari 1965. Mereka menyerbu Kanigoro, hendak menangkap Suryadi dan Harmono yang dianggap bertanggung jawab dari PKI.
Tetapi, aparat bertindak cepat sebelum aksi kekerasan kembali terjadi. Mereka telah menangkap Suryadi dan Harmono sesaat sebelum pasukan Anshor menyerang basis komunis di Kanigoro. Sebelumnya para peserta mental training beserta Kyai Jauhari pun telah dibebaskan. Guna mengantisipasi aksi yang lebih parah.
Tak lama, pada 1 Februari terjadi aksi balasan dari PII yang menyerang markas PKI di Kediri. Anis Abiyoso pun langsung menjadi buronan polisi, usai kejadian tersebut. Hingga ia menyerahkan diri pada 12 Februari 1965 di Malang, seraya mengakhiri peristiwa geger Kanigoro.
Semoga kita tidak lupa terhadap peristiwa kelam yang terjadi di masa lalu. Khususnya dalam prahara 1965, yang kelak akan menimbulkan terjadinya jatuhnya banyak korban. Walaupun banyak yang beranggapan bahwa kisah-kisah kelam ini adalah bagian dari politisasi sejarah bangsa.
Sekiranya patut diingat, dalam melihat peristiwa sejarah ada peribahasa; "siapa menabur angin pasti akan menuai badai". Mungkin seperti itulah kiranya kisah ini dapat dituliskan kembali. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H