Usai kibar perang pasukan FDR/PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948, semua sistem pemerintahan kota langsung diambil alih untuk terus dikuasai oleh pasukan komunis. Berbagai huru-hara dan teror yang berlangsung selama penguasaan atas kota Madiun dibawah PKI. Begitupula dengan pasukan Siliwangi yang berhasil menembus kota dengan maksud mengadakan diplomasi.
Ialah Kolonel dr. Moestopo yang mencoba berdialog dengan Soemarsono. Antara pasukan Siliwangi dan Brigade 29 yang pro PKI sudah terjadi aksi pelucutan senjata. Sekali lagi, perang saudara usai huru-hara di Surakarta seakan kembali terbuka. Pemerintahan Front Nasional Madiun atau Pemerintahan Republik Soviet Madiun sudah "berdiri", seiring ikrar Musso untuk menantang Soekarno.
Kegagalan dr. Moestopo untuk membujuk Soemarsono di markasnya Rejoagung, telah menegaskan posisi tempur yang terbuka antar sesama pejuang eks Surabaya Affair. Begitupula atas apa yang terjadi di Jogjakarta, masih di tanggal 18 September 1948, ternyata PKI disana juga melancarkan aksi sepihak dan sabotase terhadap Pemerintah Republik.
Jogjakarta sebagai basis utama kekuatan militer Pemerintah pun langsung bertindak dan dengan segera menangkapi seluruh unsur partai dan militer yang berontak dibawah PKI. "Tidak ada ruang untuk para pelaku makar!", perintah Soekarno di Jogjakarta. Apalagi kala itu tengah tersiar kabar, bahwa Belanda hendak melancarkan Agresi Militernya yang kedua.
Tidak mau kehilangan pengaruh atas Musso, Soekarno dengan tegas menginstruksikan untuk melakukan penumpasan terhadap aksi kudeta Madiun. Terlebih karena sudah banyak berita yang mengkisahkan berbagai aksi kekerasan yang telah terjadi di sekitar Madiun. Soekarno tidak ingin kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan dunia, yang kala itu tengah memberi dukungan kepada Indonesia.
Maka, usai undur diri dari Rejoagung, pasukan Siliwangi beserta para laskar perjuangan yang pro Pemerintah segera melakukan pengepungan atas kota Madiun. Sedangkan dari timur, gerakan pasukan TNI dibawah Kolonel Sungkono mulai membersihkan Kediri dari anasir komunis. Yap, beberapa waktu sebelumnya, para pemimpin komunis rupanya juga mempersiapkan Kediri sebagai basis kekuatan cadangan selain Madiun.
Kolonel A.H. Nasution pun segera bertindak atas instruksi Panglima Jenderal Soedirman. Praktis, usai Proklamasi Negara Soviet Madiun, para pasukan penggempur sudah mengepung Madiun dari sisi barat dan timur. Serta membebaskan Magetan dari para pasukan FDR/PKI yang telah membuat kekacauan dan teror disana.
Merasa terdesak dengan tanpa adanya kekuatan militer tambahan, para pimpinan PKI akhirnya mengalami perpecahan. "Jalan Baru" yang dikemukakan Musso, ternyata tidak mendapatkan simpati dari masyarakat dibawah teror. Begitupula dengan Amir Syarifuddin, yang justru dijadikan target utama penangkapan oleh Pemerintah Republik.
Harry A. Poeze juga menjelaskan, bahwa konflik antara petinggi PKI tidak lain karena diantara Musso dan Amir justru enggan untuk menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas aksi di Madiun. Musso yang didapuk sebagai Presiden Negara Soviet Madiun, justru tidak mendapatkan dukungan dari kekuatan militer FDR dibawah Amir Syarifuddin.
Konflik yang akhirnya membuat Musso dan Amir memilih jalan "pelariannya" masing-masing. Sejak tanggal 20 September 1948, telah terjadi baku tembak antara pasukan penggempur dengan pasukan komunis di perbatasan Madiun. Puncaknya adalah ketika pasukan komunis yang tidak terorganisis mulai bertindak kejam terhadap penduduk.
Di pusat kota, mobilisasi pasukan Tentara Pelajar ternyata dapat memberi pukulan terhadap pasukan PKI. Mereka mulai bergegas untuk melakukan aksi "undur diri", sejak tangal 22 September 1948. Kalah di perbatasan, dan kocar-kacir dari pusat kekuatan di kota. Menjadi argumentasi, bahwa pasukan komunis tidak mampu mengkonsolidasikan kekuatan.
Ditambah lagi dengan laskar pejuang yang pro Tan Malaka, dan turut serta dalam upaya pembersihan kaum pemberontak di Madiun. Terlalu kompleks untuk dikisahkan dalam sebuah artikel. Hal ini dapat penulis sampaikan sesuai dengan penelitian yang pernah penulis lakukan perihal pemberontakan kaum kiri di Madiun.
Pembebasan Tan Malaka dari tahanan setelah aksi kudetanya (3 Juli 1946), sebenarnya untuk mengimbangi pengaruh Musso di kalangan orang-orang "kiri" kala itu. Walau pada akhirnya, Tan Malaka di eksekusi usai pemberontakan Madiun berakhir.
Kembali kepada aksi baku tembak yang terjadi di sekitar kota Madiun. Karena tidak adanya dukungan dari masyarakat, maka taktis, pasukan FDR/PKI tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Bersama laskar dari Barisan Banteng dan Hizbullah, pasukan Siliwangi mengadakan raid dari kaki gunung Lawu menuju Madiun.
Letkol Sadikin dan Mayor Achmad Wiranatakusumah dari Siliwangi berhasil memukul pasukan FDR/Pesindo serta PKI di sekitar Magetan pada 25 September 1948. Esoknya, Magetan berhasil dikuasai oleh pasukan TNI seraya dibebaskan dari pegaruh komunis.
Himawan Soetanto juga menjelaskan, dalam upaya merebut kembali Madiun, sejak perbatasan Madiun berhasil dikuasai oleh pasukan TNI, antara Musso dan Amir Syarifuddin telah terjadi konflik atau perpecahan. Terlebih karena upaya mereka untuk lari ke Kediri sudah tertutup. Secara perlahan, Kediri telah dikuasai oleh pasukan TNI sejak 26 September 1948.
Dalam pengakuan Soemarsono, setelah merasa terdesak, Amir Syarifuddin memutuskan untuk keluar dari Madiun menuju utara. Ia hendak masuk ke wilayah Belanda bersama pasukannya. Berbeda dengan Musso, yang memutuskan untuk keluar dari Madiun dan menuju ke Ponorogo. Ia hanya ditemani oleh beberapa pengawalnya.
Sejak 27 September 1948, kota Madiun telah berangsur-angsur dapat dikuasai oleh pasukan TNI. Konsolidasi untuk pemulihan kota menjadi prioritas utama, seraya mempersiapkan pengejaran terhadap Musso dan Amir Syarifuddin bersama pasukan pengawalnya.
Kampanye Soekarno nyatanya berhasil menggerakkan rakyat yang sudah antipati terhadap sikap kaum komunis. "Pilih Soekarno atau Musso!", adalah perintah tegas yang diutarakan Soekarno dalam menyikapi aksi-aksi kaum komunis di Surakarta dan Madiun.
Sekiranya dapat dipetik hikmah dari peristiwa ini, tidak lain adalah solidaritas TNI beserta laskar dalam upaya membendung aski yang merugikan Republik, tatkala Belanda tengah mempersiapkan agresinya kembali. Tentu peran para pemimpin yang berhasil berkolaborasi dengan baik bersama seluruh kekuatan militer Republik adalah kunci utamanya. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H