Di pusat kota, mobilisasi pasukan Tentara Pelajar ternyata dapat memberi pukulan terhadap pasukan PKI. Mereka mulai bergegas untuk melakukan aksi "undur diri", sejak tangal 22 September 1948. Kalah di perbatasan, dan kocar-kacir dari pusat kekuatan di kota. Menjadi argumentasi, bahwa pasukan komunis tidak mampu mengkonsolidasikan kekuatan.
Ditambah lagi dengan laskar pejuang yang pro Tan Malaka, dan turut serta dalam upaya pembersihan kaum pemberontak di Madiun. Terlalu kompleks untuk dikisahkan dalam sebuah artikel. Hal ini dapat penulis sampaikan sesuai dengan penelitian yang pernah penulis lakukan perihal pemberontakan kaum kiri di Madiun.
Pembebasan Tan Malaka dari tahanan setelah aksi kudetanya (3 Juli 1946), sebenarnya untuk mengimbangi pengaruh Musso di kalangan orang-orang "kiri" kala itu. Walau pada akhirnya, Tan Malaka di eksekusi usai pemberontakan Madiun berakhir.
Kembali kepada aksi baku tembak yang terjadi di sekitar kota Madiun. Karena tidak adanya dukungan dari masyarakat, maka taktis, pasukan FDR/PKI tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Bersama laskar dari Barisan Banteng dan Hizbullah, pasukan Siliwangi mengadakan raid dari kaki gunung Lawu menuju Madiun.
Letkol Sadikin dan Mayor Achmad Wiranatakusumah dari Siliwangi berhasil memukul pasukan FDR/Pesindo serta PKI di sekitar Magetan pada 25 September 1948. Esoknya, Magetan berhasil dikuasai oleh pasukan TNI seraya dibebaskan dari pegaruh komunis.
Himawan Soetanto juga menjelaskan, dalam upaya merebut kembali Madiun, sejak perbatasan Madiun berhasil dikuasai oleh pasukan TNI, antara Musso dan Amir Syarifuddin telah terjadi konflik atau perpecahan. Terlebih karena upaya mereka untuk lari ke Kediri sudah tertutup. Secara perlahan, Kediri telah dikuasai oleh pasukan TNI sejak 26 September 1948.
Dalam pengakuan Soemarsono, setelah merasa terdesak, Amir Syarifuddin memutuskan untuk keluar dari Madiun menuju utara. Ia hendak masuk ke wilayah Belanda bersama pasukannya. Berbeda dengan Musso, yang memutuskan untuk keluar dari Madiun dan menuju ke Ponorogo. Ia hanya ditemani oleh beberapa pengawalnya.
Sejak 27 September 1948, kota Madiun telah berangsur-angsur dapat dikuasai oleh pasukan TNI. Konsolidasi untuk pemulihan kota menjadi prioritas utama, seraya mempersiapkan pengejaran terhadap Musso dan Amir Syarifuddin bersama pasukan pengawalnya.
Kampanye Soekarno nyatanya berhasil menggerakkan rakyat yang sudah antipati terhadap sikap kaum komunis. "Pilih Soekarno atau Musso!", adalah perintah tegas yang diutarakan Soekarno dalam menyikapi aksi-aksi kaum komunis di Surakarta dan Madiun.
Sekiranya dapat dipetik hikmah dari peristiwa ini, tidak lain adalah solidaritas TNI beserta laskar dalam upaya membendung aski yang merugikan Republik, tatkala Belanda tengah mempersiapkan agresinya kembali. Tentu peran para pemimpin yang berhasil berkolaborasi dengan baik bersama seluruh kekuatan militer Republik adalah kunci utamanya. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H