Palagan Fokkerweg atau pertempuran di jalan Fokker adalah sebagian dari kisah awal mula peristiwa Bandung Lautan Api. Pada tanggal 20 Maret 1946, baku tembak berskala besar terjadi di sepanjang jalan ini.Â
Tidak lain berawal dari serangkaian aksi pasukan Sekutu dalam mengurus tawanan perang Jepang ataupun Belanda di Jawa Barat.
Berbagai insiden pertempuran yang terjadi sebelumnya, selama awal tahun 1946 di seluruh daerah Jawa Barat, berangkat dari fakta bahwa Sekutu ternyata diboncengi oleh kepentingan NICA/Belanda. Mereka memang merencanakan untuk menguasai kembali Indonesia, usai Jepang kalah.
Rencana itu kerap dilakukan oleh pasukan NICA ketika berhadapan atau bertemu dengan para pejuang Republik. Unjuk kekuatan dan perampasan senjata dari para pejuang, hingga pelecehan terhadap simbol Merah Putih, menjadi latar belakang pemicu konflik.Â
Terlebih ketika Bandung dibagi menjadi dua wilayah oleh Mc Donald (Komandan Sekutu) sebagai akibat dari aksi-aksi perlawanan para pejuang Republik kepada pasukan Sekutu.Â
Wilayah Bandung utara diakuisisi sebagai area Sekutu, sedangkan di Bandung selatan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Tetapi para pejuang tidak sependapat terhadap ultimatum tersebut.
Hal ini dikarenakan para pejuang Republik memandang bahwa Proklamasi Kemerdekaan sudah final, dan harus dipertahankan. Begitupula dengan kesatuan TNI di seluruh kota Bandung, dibawah Kolonel A.H. Nasution bersama laskar bersenjata dari barisan Hizbullah hingga BBRI, melihat NICA adalah simbol penjajahan baru.
Bandung adalah pusat pemerintahan yang wajib ditaklukkan oleh Sekutu/NICA. Selain lokasinya yang strategis sebagai penghubung dari Jakarta ke berbagai kota kecil lainnya di Jawa Barat.Â
Berbagai sarana dan prasarana yang tersedia di Bandung sudah tentu dapat memberi keuntungan bagi pasukan pendudukan. Maka dari itu, mereka ngotot untuk menguasai seluruh kota Bandung.
Secara strategis, Fokkerweg adalah jalan utama bagi konvoi-konvoi militer Belanda yang hendak keluar masuk kota Bandung. Khususnya dari area Bandung barat, yang merupakan wilayah kekuasaan Indonesia sesuai administratif.Â
Tentu tidak ada kata lain selain memberi perlawanan, begitu skenario yang digagas oleh para pejuang.
Apalagi Fokkerweg secara sepihak telah ditutup oleh pasukan Sekutu sejak tanggal 19 Maret. Jelas hal itu melanggar kesepakatan antara para pejuang dengan Sekutu.Â
Garis demarkasi telah dilanggar secara sepihak, dan pada tanggal 20 Maret, para pejuang langsung bersiap untuk melancarkan serangannya terhadap pasukan Sekutu yang tengah berjaga.
Seraya menunggu konvoi pasukan Sekutu yang datang, para pejuang bersiap di sepanjang parit pertahanan yang telah dipersiapkan di timur jalan. Hingga pada pukul 12.00, pasukan Sekutu datang dengan 350 kendaraan bermotor bersama kurang lebih 1000 pasukan. Tanpa basa basi para pejuang langsung menembaki konvoi pasukan Sekutu tersebut.
Blaaar! Beberapa kendaraan pengankut hancur dihantam granat tangan dari pasukan pejuang. Banyak serdadu musuh yang sudah tumbang terkena tembakan.Â
Walaupun pasukan musuh dibantu dengan pesawat-pesawat tempur, tetapi moril dan semangat pejuang ternyata lebih tinggi dari para pasukan Sekutu. Mereka terdesak hingga pukul 14.00.
Tiba-tiba hujan mortir berjatuhan, dan semakin menambah derita bagi pasukan musuh. Duar! Duar! Duar! Pasukan mortir Tatang Aruman ternyata telah datang untuk bergabung di palagan Fokkerweg.Â
Seketika kendaraan musuh hancur lebur dihantam mortir. Terlebih ketika batalyon Achmad Wiranatakusumah juga colabs di lokasi baku tembak. Wih, makin keras baku tembak yang terjadi.
Di hari kedua, sepasukan Gurkha dibawah komando Kapten Mirza membelot dari pasukan Sekutu. Mereka justru bergabung dengan para pejuang, dengan berbekal senjata dan amunisi yang dibawanya. Hal ini seperti kisah Pasukan Gurka Membela Indonesia yang pernah penulis kisahkan beberapa waktu lalu.
Mereka melakukan desersi lantara sesama muslim dilarang saling membunuh. Yap, kumandang takbir yang kerap menghiasi di sepanjang pertempuran membuat pasukan Gurkha itu berpikir ulang untuk melawan para pejuang.
Suasana baku tembak semakin memanas, lantaran Sekutu sudah semakin terdesak tak berdaya. Hingga hari ketiga, suasana tak kunjung membaik. Pasukan Sekutu memilih undur diri dari medan pertempuran. Tak ada pilihan, pasukan-pasukan Republik terus berdatangan saling bahu untuk menghantam mereka.
Dari pihak Republik tercatat 7 pejuang gugur dalam peristiwa tersebut. Lainnya adalah penduduk sekitar yang tampak tidak bisa mengelak dari pertempuran, seperti ketika menghadapi serangan udara.Â
Maka praktis atas kemenangan ini, komandan perang Sekutu semakin meradang. Esoknya, ultimatum untuk penyerahap senjata pasukan pejuang kembali mengudara.
Dilain lokasi, sekitar Bandung utara, baku tembak pun terjadi dimana-mana, hingga klimaksnya adalah pengosongan seluruh wilayah Bandung. Tetapi tidak begitu saja ditinggalkan, Bandung Lautan Api telah dipersiapkan oleh para pejuang, sebagai bayaran atas apa yang telah dipertaruhkan demi menjaga kemerdekaan Indonesia.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H