Tentu tidak ada kata lain selain memberi perlawanan, begitu skenario yang digagas oleh para pejuang.
Apalagi Fokkerweg secara sepihak telah ditutup oleh pasukan Sekutu sejak tanggal 19 Maret. Jelas hal itu melanggar kesepakatan antara para pejuang dengan Sekutu.Â
Garis demarkasi telah dilanggar secara sepihak, dan pada tanggal 20 Maret, para pejuang langsung bersiap untuk melancarkan serangannya terhadap pasukan Sekutu yang tengah berjaga.
Seraya menunggu konvoi pasukan Sekutu yang datang, para pejuang bersiap di sepanjang parit pertahanan yang telah dipersiapkan di timur jalan. Hingga pada pukul 12.00, pasukan Sekutu datang dengan 350 kendaraan bermotor bersama kurang lebih 1000 pasukan. Tanpa basa basi para pejuang langsung menembaki konvoi pasukan Sekutu tersebut.
Blaaar! Beberapa kendaraan pengankut hancur dihantam granat tangan dari pasukan pejuang. Banyak serdadu musuh yang sudah tumbang terkena tembakan.Â
Walaupun pasukan musuh dibantu dengan pesawat-pesawat tempur, tetapi moril dan semangat pejuang ternyata lebih tinggi dari para pasukan Sekutu. Mereka terdesak hingga pukul 14.00.
Tiba-tiba hujan mortir berjatuhan, dan semakin menambah derita bagi pasukan musuh. Duar! Duar! Duar! Pasukan mortir Tatang Aruman ternyata telah datang untuk bergabung di palagan Fokkerweg.Â
Seketika kendaraan musuh hancur lebur dihantam mortir. Terlebih ketika batalyon Achmad Wiranatakusumah juga colabs di lokasi baku tembak. Wih, makin keras baku tembak yang terjadi.
Di hari kedua, sepasukan Gurkha dibawah komando Kapten Mirza membelot dari pasukan Sekutu. Mereka justru bergabung dengan para pejuang, dengan berbekal senjata dan amunisi yang dibawanya. Hal ini seperti kisah Pasukan Gurka Membela Indonesia yang pernah penulis kisahkan beberapa waktu lalu.
Mereka melakukan desersi lantara sesama muslim dilarang saling membunuh. Yap, kumandang takbir yang kerap menghiasi di sepanjang pertempuran membuat pasukan Gurkha itu berpikir ulang untuk melawan para pejuang.
Suasana baku tembak semakin memanas, lantaran Sekutu sudah semakin terdesak tak berdaya. Hingga hari ketiga, suasana tak kunjung membaik. Pasukan Sekutu memilih undur diri dari medan pertempuran. Tak ada pilihan, pasukan-pasukan Republik terus berdatangan saling bahu untuk menghantam mereka.