Belakangan ini mulai ramai lagi terdengar persoalan "perploncoan", yang terjadi dalam suatu sistem pendidikan. Bukan menjadi hal yang baru sebenarnya sistem ini diterapkan di Indonesia. Karena sistem ini memiliki sejarahnya sendiri, hingga kemudian mampu berkembang seperti sekarang ini, walau tujuannya tentu saja berbeda-beda.
Rekam jejak perihal "perploncoan" ini sekiranya telah terjadi sejak masa Belanda berkuasa di Indonesia. Selanjutnya adalah pada masa pendudukan Jepang, yang lebih mengenal plonco sebagai bagian dari tujuan orientasi siswa baru. Terlebih pada sistem perkenalan dalam kemiliteran, seperti rekruitmen pasukan Heiho dan PETA.
Nah, apa yang terjadi belakangan ini sekiranya dapat membuat kita memahami istilah "perploncoal" ini dari pendekatan sejarah.
Lantas, apa sih "perploncoan" itu, yang "konon" menjadi agenda horor bagi para siswa/mahasiwa baru?
Mungkin masalah ini berangkat dari upaya sistem pengenalan terhadap hal yang baru bagi seorang siswa. Tetapi kerap diterjemahkan sebagai kegiatan yang kurang berkenan dalam konsepsi perkenalan pembelajaran.
Pada masa kolonial Belanda, para siswa STOVIA wajib mengikuti masa "perploncoan" ini selama lebih kurang 3 bulan. Tetapi Belanda lebih ketat dalam mengatur dan menjaga "aturan main" yang diterapkan selama masa perkenalan mahasiswa baru (maba) STOVIA.
Seperti, tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan "plonco" selama jam belajar dan istirahat dimulai. Selain itu, aktivitas yang berpotensi kekerasan fisik juga harus dihindari dan tidak ada toleransi.
Hal inilah yang kemudian membuat "perploncoan" pada masa pendudukan Jepang seakan menjadi terbalik. Ya tentu saja, karena Jepang punya aturan main yang bertentangan dan berbeda dengan konsep pendidikan Belanda.
Seperti melakukan penggundulan bagi setiap siswa/mahasiswa baru, dengan dasar tradisi, baik pada jenjang sekolah umum ataupun sekolah militer. Semua disamakan, untuk menegaskan bahwa orang tersebut adalah siswa/mahasiswa baru.
Apalagi jika alasannya adalah mendidik mental. Mental yang seperti apa yang dimaksud, sekiranya tujuan ini patut ditelaah agar bisa menjadi area reflektif apabila dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, pengenalan yang berorientasi terhadap kekerasan fisik dan verbal juga kerap terjadi pada masa Jepang. Lantaran mereka lebih mendekatkan konsep pendidikan yang berorientasi militeristik. Jadi, bukan lagi pendekatan kesadaran kedaerahan, seperti yang diterapkan pada masa Belanda.
Walau faktanya pada masa Belanda juga kental dengan pendikotomian antara golongan pribumi dan asing. Semua diklasifikasikan secara berbeda sesuai dengan tingkat derajat sosial keluarganya, walaupun tetap konsen dalam tujuan positif.
Nah, hal inilah yang kemudian terus berkembang hingga masa kemerdekaan. Walau mengalami berbagai perubahan orientasi, yang kala itu lebih mengedepankan konsep Nasionalisme sebagai dasarnya. Juga penerapan "perploncoan" dengan penggundulan yang kemudian hanya diterapkan dalam pendidikan militer.
Dijemur, merayap, terlentang dibawah terik matahari, atau dilecehkan secara fisik dan verbal, adalah bagian dari pengenalan yang terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Karena sekali lagi, pada masa itu orientasinya adalah membentuk mental perang.
Dimana lambat laun sistem ini menjadi sebuah kebiasaan yang kelak berkembang menjadi ajang eksistensi dari para senior di lembaga pendidikan tersebut. Selain karena kerap terjadi aksi-aksi kekerasan yang justru mengingatkan kita kembali layaknya era "perploncoan" seperti masa pendudukan Jepang.
Penyeragaman, gundulisasi, dan atribut-atribut yang mungkin saja jauh dari kesan positif. Ya, tentu saja, kita tidak ingin hal demikian terjadi lebih tragis lagi saat ini, seperti yang beberapa waktu lalu terjadi di Makassar. Apalagi pendidikan saat ini lebih berorientasi pada konsep humanisasi yang egaliter dan merdeka.
Jika salah, arahkan secara edukatif dengan berbagai pendekatan. Bukan malah dijemur atau disuruh melakukan sesuatu yang terkesan negatif dan merugikan. Karena kita tidak lagi hidup di era penjajahan Jepang. Terlebih jika hal ini kerap terjadi di tingkat pendidikan tinggi, seperti di kampus-kampus.
Walau bukan hal baru, pendekatan berbasis humanisme sekiranya justru dapat memberi manfaat bagi semua. Memperkenalkan hal yang positif dengan tugas kemanusiaan, sekiranya dapat menjadi alternatif bagi konsep pengenalan siswa/mahasiwa baru saat ini. Dengan tidak meninggalkan rasa Nasionalisme tentunya, apalagi kekerasan, baik fisik ataupun verbal.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H