Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ospek "Sok" Keras Itu Warisan Penjajah

13 Agustus 2022   06:00 Diperbarui: 13 Agustus 2022   06:23 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini mulai ramai lagi terdengar persoalan "perploncoan", yang terjadi dalam suatu sistem pendidikan. Bukan menjadi hal yang baru sebenarnya sistem ini diterapkan di Indonesia. Karena sistem ini memiliki sejarahnya sendiri, hingga kemudian mampu berkembang seperti sekarang ini, walau tujuannya tentu saja berbeda-beda.

Rekam jejak perihal "perploncoan" ini sekiranya telah terjadi sejak masa Belanda berkuasa di Indonesia. Selanjutnya adalah pada masa pendudukan Jepang, yang lebih mengenal plonco sebagai bagian dari tujuan orientasi siswa baru. Terlebih pada sistem perkenalan dalam kemiliteran, seperti rekruitmen pasukan Heiho dan PETA.

Nah, apa yang terjadi belakangan ini sekiranya dapat membuat kita memahami istilah "perploncoal" ini dari pendekatan sejarah.

Lantas, apa sih "perploncoan" itu, yang "konon" menjadi agenda horor bagi para siswa/mahasiwa baru?

Mungkin masalah ini berangkat dari upaya sistem pengenalan terhadap hal yang baru bagi seorang siswa. Tetapi kerap diterjemahkan sebagai kegiatan yang kurang berkenan dalam konsepsi perkenalan pembelajaran.

Pada masa kolonial Belanda, para siswa STOVIA wajib mengikuti masa "perploncoan" ini selama lebih kurang 3 bulan. Tetapi Belanda lebih ketat dalam mengatur dan menjaga "aturan main" yang diterapkan selama masa perkenalan mahasiswa baru (maba) STOVIA.

Seperti, tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan "plonco" selama jam belajar dan istirahat dimulai. Selain itu, aktivitas yang berpotensi kekerasan fisik juga harus dihindari dan tidak ada toleransi.

Hal inilah yang kemudian membuat "perploncoan" pada masa pendudukan Jepang seakan menjadi terbalik. Ya tentu saja, karena Jepang punya aturan main yang bertentangan dan berbeda dengan konsep pendidikan Belanda.

Seperti melakukan penggundulan bagi setiap siswa/mahasiswa baru, dengan dasar tradisi, baik pada jenjang sekolah umum ataupun sekolah militer. Semua disamakan, untuk menegaskan bahwa orang tersebut adalah siswa/mahasiswa baru.

Apalagi jika alasannya adalah mendidik mental. Mental yang seperti apa yang dimaksud, sekiranya tujuan ini patut ditelaah agar bisa menjadi area reflektif apabila dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun