Siapa yang tidak kenal dengan sastrawan yang satu ini? Yang karya-karyanya kerap dibacakan hingga kini, baik dalam konten cinta ataupun perjuangan. Ya, dia adalah Chairil Anwar, seorang "jagoan sastra" yang lahir pada 26 Juli 1922 di Medan. Sebelum hijrah ke Batavia (Jakarta kini) pada tahun 1940, Chairil adalah anak semata wayang dari seorang Bupati Indragiri, bernama Toeloes.
Sejak tinggal di Batavia, bakat Chairil Anwar dalam dunia sastra mulai berkembang pesat. Perkenalannya dengan berbagai tokoh sastra seperti H.B Jassin, Sang Paus Sastra Indonesia itu lho, membuat dirinya semakin disegani oleh para penyair Angkatan 45. Tidak hanya kepada dunia sastra, tetapi juga kepada dunia perjuangan.
Arjmin Pane kerap menolak karya-karya Chairil yang dinilai dapat membahayakan pergerakan, pada zaman pendudukan Jepang. Kala itu, Arjmin Pane adalah seorang pemimpin redaksi Panji Pustaka, yang kerap terkena "sensor" oleh pihak Jepang. Yakni, puisi "Aku", yang membahas mengenai perjuangan seseorang pejuang.
Selain itu ada karya lainnya, seperti "Maju" dan "Diponegoro" yang dibuat pada tahun 1943. Maka wajar, bila pasukan Jepang kerap memata-matai gerak-geriknya sebagai seorang sastrawan pejuang selama mereka berkuasa di Indonesia.
Kedekatannya dengan Jassin kerap memberinya ruang untuk terus dapat berkarya. Pada aspek ini, Jassin memang sangat mendukung Chairil dalam berbagai kegiatan yang dapat memberinya ruang untuk berekspresi. Walau diantara keduanya pernah terlibat baku hantam, karena Jassin mengganggap Chairil melakukan plagiat karya sastra.
Selain dengan Jassin, Chairil kerap bergabung dengan seniman lainnya, seperti Rivai Apin, Sudjojono, Affandi, Usmar Ismail, hingga Tino Sidin. Mereka sudah layaknya saudara yang saling memberi dan berbagi satu dengan lainnya. Terlebih ketika Chairil tengah membutuhkan bantuan, baik apapun itu.
Perseteruan dengan Jassin nyatanya tidak berjalan lama, karena Jassin kerap mendapati Chairil duduk paling depan untuk sekedar menonton pertunjukkan dirinya. Kendati Jassin juga mengetahui, bahwa Chairil kerap berlatih angkat besi, untuk sekedar dapat membalas Jassin suatu saat nanti.
Tetapi, apa yang terjadi justru diluar nalar, pada suatu waktu Chairil datang ke rumah Jassin, tetapi bukan justru baku hantam yang terjadi, melainkan sebuah kata singkat, "Jassin, aku lapar...", ungkapnya. Padahal Jassin sudah bersiap untuk baku hantam ketika itu.
Usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1948, Chairil kembali fenomenal melalui launching karya "Karawang Bekasi". Keterlibatannya dalam berbagai perkumpulan pejuang, sekiranya telah sampai pada kebulatan tekadnya untuk menghimpun peluru melalui kata-kata. Walau karya-karya bertema perjuangan telah kerap dibuatnya.
Jika mengingat Belanda, tentu akan membangkitkan memorinya tentang peristiwa Pembantaian Rengat, pada tahun 1949. Orang tua Chairil, Toeloes, adalah salah satu korban dari sikap represif tentara Belanda disana. Seolah rasa jengkelnya kepada tentara kolonial sudah sampai ke hatinya yang semakin berkecamuk.
Pada medio 1949, Chairil seakan memutar karya juangnya menjadi karya penutup yang seolah sebagai pertanda akan kematiannya. Karya-karyanya pada masa ini rata-rata bertema mengenai kematian, seperti "Yang Terampas dan Yang Putus". Seolah karya ini adalah wasiat untuk dirinya, agar kelak jika meninggal dapat dimakamkan di pemakaman umum Karet Bivak.
Teman-temannya menyadari bahwa Chairil memang tengah sakit sejak lama, tapi ia tidak pernah bercerita mengenai apa yang dideritanya, bahkan kepada Jassin, yang kerap dimintai bantuan ketika ia hendak berobat. Hingga tiba pada suatu waktu, hari Kamis, tanggal 28 April 1949, Chairil Anwar diberitakan telah meninggal dunia.
Ribuan orang mengiringi prosesi pemakamannya, bahkan setelah pemakamannya. Ada delapan oplet yang mengiringi iring-iringan jenazahnya ke pemakaman Karet Bivak, ada yang memakai delman dan sepeda, seperti Sutan Takdir Alisjahbana. Paman Chairil Anwar, Sutan Syahrir justru datang lebih awal untuk mengurus pemakamannya.
Hanya satu ons gula merah, sepasang sepatu dan kaos hitam dengan selembar uang, warisan yang ditinggalkan oleh Chairil Anwar untuk anaknya, Eva. Beserta map berisi bundelan puisi dan sajak dalam tulisan tangan.
Layaknya peluru, sajak Karawang-Bekasi, hingga kini kerap dibacakan untuk mengenang dirinya dan perjuangan bangsa. Semoga bermanfat.
KARAWANG BEKASI
Karya: Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Jakarta, 1948
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H