Pada medio 1949, Chairil seakan memutar karya juangnya menjadi karya penutup yang seolah sebagai pertanda akan kematiannya. Karya-karyanya pada masa ini rata-rata bertema mengenai kematian, seperti "Yang Terampas dan Yang Putus". Seolah karya ini adalah wasiat untuk dirinya, agar kelak jika meninggal dapat dimakamkan di pemakaman umum Karet Bivak.
Teman-temannya menyadari bahwa Chairil memang tengah sakit sejak lama, tapi ia tidak pernah bercerita mengenai apa yang dideritanya, bahkan kepada Jassin, yang kerap dimintai bantuan ketika ia hendak berobat. Hingga tiba pada suatu waktu, hari Kamis, tanggal 28 April 1949, Chairil Anwar diberitakan telah meninggal dunia.
Ribuan orang mengiringi prosesi pemakamannya, bahkan setelah pemakamannya. Ada delapan oplet yang mengiringi iring-iringan jenazahnya ke pemakaman Karet Bivak, ada yang memakai delman dan sepeda, seperti Sutan Takdir Alisjahbana. Paman Chairil Anwar, Sutan Syahrir justru datang lebih awal untuk mengurus pemakamannya.
Hanya satu ons gula merah, sepasang sepatu dan kaos hitam dengan selembar uang, warisan yang ditinggalkan oleh Chairil Anwar untuk anaknya, Eva. Beserta map berisi bundelan puisi dan sajak dalam tulisan tangan.
Layaknya peluru, sajak Karawang-Bekasi, hingga kini kerap dibacakan untuk mengenang dirinya dan perjuangan bangsa. Semoga bermanfat.
KARAWANG BEKASI
Karya: Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami