Maka wajar, eksistensi dari para pejuang dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah Indonesia, bahwa Republik masih sanggup berdiri dan mempertahankan kemerdekaannya. Melihat realitas ini, baik India dan Australia secara tegas menentang kebijakan Belanda. Ajuan mengenai kasus ini kemudian mencuat pada sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1 Agustus 1947.
Resolusi yang mengecam aksi polisionil Belanda dan mendukung upaya Indonesia untuk mencari solusi dalam penyelesaian konflik. Hasilnya adalah terbentuknya Komisi Tiga Negara (KTN), pada 26 Agustus 1947. KTN ini terdiri dari tiga negara yang bertugas untuk mencari jalan keluar mengatasi konflik Indonesia dengan Belanda; seperti Australia, Belgia, dan Amerika.
Dengan keluarnya keputusan PBB ini, maka operatie product oleh Belanda langsung berakhir.
Lantas bagaimana reaksi dari para pejuang Republik melihat hal ini?
Cara pandang para pejuang seketika berubah drastis dalam melihat upaya diplomasi Pemerintah kala itu. Perundingan Linggarjati dianggap sebagai bukti lemahnya Indonesia dalam urusan perundingan. Mereka (pejuang) lebih baik bertempur dengan prinsip merdeka atau mati. Tidak lebih dari upaya menjaga kedaulatan bangsa yang telah merdeka.
Maka wajar, dalam beberapa waktu kedepan, sikap diplomatif Pemerintah kerap tidak sinkron dengan para pejuang di lapangan. Seperti ungkap A.H. Nasution, dalam buku Diplomasi Sambil Bertempur. Walau semua bertujuan demi kedaulatan bangsa dan negara, berbagai upaya diplomasi sering disalahartikan oleh para pejuang, sebagai sikap menyerah Pemerintah terhadap Belanda.
Tidak ada jalan lain bagi para pejuang, selain dari kata bertempur dan bertempur.
Seperti yang dilakukan oleh Mr. Sutan Amin Nasution, yang memimpin pejuang di Pematang Siantar ataupun K.H. Zainul Arifin (Hizbullah) dan dr. Moewardi (Barisan Banteng) di Jawa, dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I. Selain dari unsur reguler TNI, seperti dibawah komando Jenderal Soedirman, Gatot Soebroto, A.H. Nasution, dan yang lainnya.
Dari peristiwa Bandung Lautan Api, hingga peristiwa Rawagede, sekiranya sudah jadi jawaban dari para pejuang, khususnya TNI. Dalam melihat sikap Belanda ketika berhadapan di medan pertempuran. Diplomasi dan etika perang, sudah tidak lagi ditaati, terlebih ketika relawan PMI banyak juga yang menjadi korban dari serangan Belanda.
Kota Salatiga adalah salah satu saksinya. TNI beserta laskar pejuang dan rakyat, tanggal 22 Juli 1947, melakukan aksi bumi hangus seperti di Bandung. Pendudukan Stasiun Tuntang di dekat kota Salatiga dianggap sudah menjadi pertanda, bahwa perlawanan bersenjata adalah jalan akhir demi kemerdekaan. Bagi TNI, kemerdekaan adalah harga mati dan dipertahankan.
Tetapi upaya diplomasi tetap saja dilakukan oleh Pemerintah, hingga kelak terjadi lagi aksi polisionil Belanda yang kedua, atau akrab dengan nama Agresi Militer Belanda II. Tentu saja dengan Jogjakarta sebagai target utama Belanda, dengan agenda penagkapan para pemimpin politik Indonesia. Semoga bermanfaat.